Rabu, 13 Mei 2015

FILSAFAT ILMU (LOGIKA DAN PENALARAN DALAM ILMU PENGETAHUAN)


Dalam kehidupan seperti sekarang ini, setiap orang hampir setiap saat dihadapkan dengan logika dan/atau sebaliknya. Secara sederhana dipahami logika itu berpikir secara logis, atau masuk akal. Tidak sedikit kehidupan kita dan sekitar kita menyaksikan dan merasakan sesuatu yang tidak logis, baik menyangkut perihal kemasyarakatan, pemerintah­an, kebangsaan, maupun persoalan kelompok dan individu dalam ma­syarakat, tidak ketinggalan perihal di dunia pendidikan, politik, ekonomi, hingga birokrasi.
Sesuatu yang logis biasanya akan mudah dipahami oleh nalar kita, tetapi sesuatu yang tidak logis kadang bertentangan dengan pikiran dan hati kita. Dalam banyak hal, kita sering mengalami berbagai kejadian yang kita pikir tidak logis, misalkan ada yang jelas-jelas melakukan ko­rupsi dengan uang miliaran rupiah bahkan triliunan, tapi di mata hukum kok sama dengan seorang pencuri seekor ayam. Ada juga yang sudah jelas terbukti bersalah tapi tidak bisa disentuh oleh hukum, ada juga di dunia pendidikan sudah sekolah ke jenjang tertinggi tetapi tidak ada institusi atau dinas pemerintah dan swasta yang dapat menerima dirinya untuk bekerja sehingga harus puas di terminal pengangguran.




Masih terdapat sederet soal yang kadang kita hadapi secara tidak logis dalam kehidupan, sehingga ada yang mengatakan inilah "zaman edan, yakni satu zaman yang diwarnai oleh perihal serba-serbi tidak masuk akal." Tapi ada juga yang mengatakan, sesuatu yang tidak masuk akal itu indah, seindah kebohongannya. Sebab katanya kalau masuk akal, logis dan masuk dalam nalar kita itu sih biasa saja hanya "linier" tapi sesuatu yang irasional itu yang luar biasa, "artinya otak cerdasnya jalan" secara diagonal. Lagi-lagi inilah "zaman edan, logika yang edan, berpikir yang edan, oleh anak negeri yang edan."
Namun demikian, atas dasar realitas itulah diperlukan suatu logika dalam kehidupan manusia, agar kita mengetahui kapan saatnya berpikir logis, kapan saatnya kita berpikir tidak logis, setiap tempat dan waktu ada logikanya, setiap logika ada waktu dan tempatnya. Kalau memahami hakikat kedua konsep ini dengan baik dan benar, justru kita dapat me­nempatkan diri dalam segala keadaan secara proporsional di tengah ma­nusia yang bervariasi tingkat logika dan pemikirannya.

Menurut Andre Ata, dkk. (2012), konsep "logika" atau "logis" sudah sering kita dengar dan kita gunakan. Dalam bahasa sehari-hari, perkata­an "logika" atau "logis" menunjukkan cara berpikir atau cara hidup atau sikap hidup tertentu, yaitu yang masuk akal, yang "reasonable", yang wajar, yang beralasan atau berargumen,, yang ada rasionya atau hubung­an rasionalnya, yang dapat dimengerti, walaupun belum tentu disetu­jui atau tentang benar atau salah. Dalam arti ilmiah, perkataan logika menunjukkan pada suatu disiplin ilmui; yang dimaksud dengan disiplin di sini yaitu disiplin ilmiah, yaitu kegiatan intelektual yang dipelajari un­tuk memperoleh pengetahuan dan pemahaman dalam bidang tertentu secara sistematik-rasional argumentatif dan terorganisasi yang terkait atau tunduk pada aturan, prosedur, atau metode tertentu. Setiap disiplin mewujudkan ilmu atau cabang ilmu pengetahuan tertentu. Misalnya bio­logi, yaitu disiplin yang termasuk ilmu alam; mikrobiologi, yaitu suatu disiplin ilmu atau subdisiplin yang termasuk dalam disiplin ilmu biologi.
Menurut Arief Sidharta (2010), kata logika sering juga digunakan un­tuk bahasa percakapan sehari-hari. Kata itu memiliki beberapa pandang­an arti dalam penggunaan secara umum, seperti "wajar", dapat diterima atau bisa juga digunakan dalam arti kultur untuk menggambarkan sikap khas suatu kelompok masyarakat. Dalam konteks umum, kata logika sering diartikan sebagai "masuk akal, wajar, pantas bisa diterima, atau dapat dipahami."
Dalam dunia akademis, logika sering juga dikenal sebagai salah satu nama mata kuliah yang diajarkan di perguruan tinggi, kalau di perguruan tinggi agama logika ini diidentikkan dengan mata kuliah ilmu mantik. Secara khusus, logika dalam konteks ilmiah kita temukan arti khusus dari logika dan sekaligus mengantarkan kita kepada alasan mengapa logika dipelajari secara formal. Ada dua pandangan yang dapat kita pahami dalam konteks ini. Pertama, Irving Copi seorang filsuf dari USA (2002) - mengatakan, yaitu logika adalah studi tentang metode dan prinsip yang digunakan dalam membedakan penalaran yang baik dan benar dari pena­laran yang buruk dan salah (logic is the study ofthe methods and principles itsed to distinguish good/correct from bad/incorrect reasoning). Pengertian ini menunjukkan bahwa mempelajari logika berarti mempelajari hukum dan prinsip berpikir yang mengatur atau melandasi dan sekaligus mem­berikan alasan mengapa suatu penalaran dapat dikatakan sebagai sesu­atu yang logis dan juga menjelaskan mengapa suatu penalaran harus di­katakan sebagai tidak logis. Kedua, Norman Geisler dan Ronald Brooks (1990) mengatakan, bahwa logika yaitu kajian tentang penalaran yang benar atau menyimpulkan yang valid (sah) dan dapat mengenali adanya kesalahan berpikir baik secara formal maupun informal.
Dari dua paham yang dikemukakan ini, dapat kita katakan bahwa lo­gika tidak hanya mengajarkan bagaimana suatu penyimpulan yang te­pat, tetapi juga membuat kita waspada terhadap kemungkinan kesalahan yang kita lakukan dalam pembuatan kesimpulan. Dengan demikian dapat kita pahami, pengertian logika menurut para pemikir atau filsuf di atas, dalam arti yang khusus, logika sebenarnya merupakan kajian dalam pro­ses penalaran yang bertolak dari penerapan prinsip berpikir dalam suatu penalaran yang tepat, yang digunakan dalam membedakan penalaran yang baik dan benar dari penalaran yang buruk dan salah "sesat berpikir..

C. LOGIKA DAN ILMU PENGETAHUAN.


Socrates (469-399 SM) mengatakan ribuan tahun yang lalu, bahwa pada dasarnya manusia bersifat ingin tahu. Keingintahuan yaitu bagian dari kealamiahan manusia. Seorang anak kecil yang masih usia dini ke­tika dia bermain balok kemudian menyusun balok-balok itu menjadi suatu bangunan, akan menemui suatu logika dari permainan itu, misalnya mengapa gedung yang dibuat dari balok itu bisa roboh, lalu dia menemu­kan jawabannya sendiri "oh karena fondasi bangunan yang dia buat tidak besar, jadi tidak punya kekuatan." Lalu si anak ketika membuat bangunan gedung dengan balok kembali, dia membuat fondasi bangunan baloknya dibuat menjadi lebih besar,, agar bangunan yang dibuat tidak ambruk atau rubuh. Begtulah logika dalam ilmu pengetahuan dapat diperkenalkan pada seorang anak hingga seorang ilmuwan dapat mengembangkan logika ber­pikirnya dalam ilmu pengetahuan. Mengapa seorang anak bertanya atas perbuatannya sendiri terhadap balok-balok kayu yang dia susun, ini meru­pakan salah satu bentuk manusia yang penuh dengan rasa ingin tahu.
Juniarso Ridwan (2010) mengatakan, bahwa Socrates telah berusaha menemukan dan mengajarkan prinsip-prinsip universal tentang "keadil­an" dan "hukum yang benar." Keadilan itu sesungguhnya telah bermu­kim di dalam diri dan dalam kesadaran manusia itu sendiri "given." Un­tuk mengajarkan hal itu, ia memanfaatkan metode yang terkenal hingga sekarang yakni, "socratic method," yaitu dengan mengajukan sejumlah pertanyaan yang akan merangsang serta memperkuat para muridnya da­lam berpikir sedalam-dalamnya untuk menyiapkan makna keadilan dan hukum yang benar.
Dorongan keingintahuan pada manusia muncul dari akalnya. Manu­sia yaitu makhluk yang berakal dan memiliki kesadaran akan realitas di luar dirinya. Semua yang dilakukannya tidak terlepas dari kesadaran dan akalnya itu. Ilmu pengetahuan lahir sebagai jawaban bagi keingintahuan manusia yang tidak pernah berhenti. Maka tidaklah mengherankan, jika ilmu pengetahuan yang dibangun dan diciptakan manusia akan terus berkembang selama ada kehidupan makhluk berakal budi di mana pun di Bumi.
Ujan Andre Ata, dkk. (2012) mengatakan, akal manusia menuntun­nya pada pengetahuan. Tetapi tidak semua pengetahuan bisa begitu saja menjadi milik manusia semata-mata hanya karena akalnya semata. Karena ada jenis pengetahuan yang membutuhkan sistematika, kohe­rensi dan metode tertentu, jenis pengetahuan ini dikenal sebagai ilmu pengetahuan ilmiah, yang bisa diidentifikasikan sebagai disiplin siste­matis, metodis, rasional, dan koheren yang menyelidiki aspek tertentu dari realitas.
Dalam kaitan dengan syarat-syarat ilmu pengetahuan, logika meme­gang peranan sangat penting. Logika menjadi semacam alat ukur yang harus digunakan untuk menentukan bukan saja kadar keilmiahan dalam suatu teori ilmu pengetahuan yang dirumuskan, melainkan juga validitas teori ilmu pengetahuan. Dengan latar belakang logika yang telah dike- mukakan, dapat dipahami keterkaitan dan pentingnya keberadaan logika dalam hubungannya dengan ilmu pengetahuan.



Menurut Darsono Prawironegoro (2011), logika adalah suatu metode yang diciptakan untuk meneliti ketepatan penalaran. Bentuk-bentuk pe­mikiran yaitu pengertian atau konsep (coceptus, concept), proposisi atau pertanyaan (proposition, statement), dan penalaran (ratiocinium, reason­ing). Tidak ada proposisi tanpa pengertian dan tidak ada penalaran tanpa proposisi.
Pengertian atau lazim disebut konsep (coceptus, concept), yaitu hasil observasi indra terhadap objek yang diolah otak, maka pengertian dise­but data psikologis. Pengertian merupakan bahan baku untuk berpikir lebih lanjut. Pengertian tentang objek merupakan abstraksi atas objek itu yang dituangkan ke dalam bahasa. Bahasa yaitu lambang atas simbol atas objek yang menjelaskan ciri-ciri objek. Objek diabstraksi oleh otak dan dilambangkan dalam bahasa itu berbentuk kata. Misalnya manusia, binatang, gung, dan laut. Bangunan logika digambarkan dalam gambaran di bawah ini.
Otak merangkai kata menjadi suatu pertanyaan atau proposisi (pro­position,, statement), misalkan gunung itu tinggi, binatang itu buas, dan sebagainya. Pengertian tinggi untuk gunung dan buas untuk anjing itu disebut predikat (yang menerangkan), sedangkan pengertian gunung dan anjing itu disebut subjek (yang diterangkan). Dalam suatu proposisi ter­jadi dua kemungkinan, yaitu pengakuan dan pengingkaran. Proposisi pengakuan contohnya binatang itu buas, sedangkan proposisi penging­karan yaitu binatang itu tidak buas. Proposisi harus dibuktikan, ia bisa benar dan bisa salah. Dengan demikian, proposisi hakikatnya yaitu apa yang ada di pikiran manusia. Pikiran itu harus dibuktian dengan kondisi objektif. Adapun pengertian selalu benar karena ia merupakan objek itu sendiri atau pengertian selalu objektif.
Apa itu arti kata penalaran? Menurut Ujan selanjutnya, penalaran adalah suatu proses berpikir yang menggunakan argumen, pertanya­an, premis atau aksioma untuk menentukan benar-salahnya suatu ke­simpulan. Penalaran bersifat logis, jika kesimpulan yang dihasilkan oleh argumen, pertanyaan, atau premis yang benar. Sebaliknya, kesimpulan yang dihasilkan dari argumen atau premis yang salah akan menghasilkan penalaran yang tidak logis.
Secara sederhana dapat dikatakan bahwa penalaran adalah proses berpikir dalam menarik suatu kesimpulan berdasarkan sejumlah informasi yang tersedia. Misalkan Anda mengetahui bahwa papa Imam ialah pemilik pabrik sawit di Jambi. Hanya berdasarkan informasi ini Anda bisa menarik beberapa kesimpulan, yaitu papa Imam itu orang kaya, dia me­miliki banyak karyawan, dia memiliki rumah mewah, dan anak-anaknya di luar negeri sekolah yang terkemuka. Kesimpulannya yang Anda tarik itu bersifat logis, karena penalaran kita mengolah informasi yang diper­oleh dan mengombinasikan dengan pengetahuan awal. Dalam arti itu, dapat dikatakan bahwa pertanyaan baru berdasarkan apa yang telah kita ketahui.
Setiap penalaran memiliki struktur yang sangat sederhana, yaitu adanya pertanyaan (premis atau argumen), lalu pertanyaan itu diolah nalar sebelum menghasilkan kesimpulan. "Premis—penalaran—kesim­pulan," Penalaran berangkat dari sesuatu yang sudah ada atau apa yang sudah diketahui, dari sana baru ditarik suatu kesimpulan. Apa yang sudah diketahui itu disebut premis, fakta, bukti, dasar, atau alasan. Kita tidak bisa menarik kesimpulan dari apa yang tidak diketahui. Apa yang disim­pulkan itu disebut kesimpulan (konklusi). Selain sebagai proses akal budi dalam menarik kesimpulan, penalaran itu sendiri disebut juga penyim­pulan (inference).
Proposisiyangdianggap benar atau dinyatakanbenar dikombinasikan dengan proposisi yang lainnya yang juga dianggap benar menghasilkan proposisi baru yang disebut penalaran (mtiocinium). Contoh, Amat mati, Badu mati, Koni mati; jadi semua orang akan mati. Proposisi yang men­jadi dasar penyimpulan disebut premis, Dan, proposisi yang menjadi kesimpulan yaitu konklusi (konsekuensi). Pada contoh tersebut, kon­klusinya lebih luas daripada premisnya, maka disebut generalisasi. Pe­nalaran yang demikian disebut penalaran induktif. Lawan dari penalaran induktif yaitu penalaran deduktif yaitu konklusinya lebih sempit dari­pada premisnya. Contoh, semua manusia akan mati, jadi Badu akan mati.
Penalaran itu berhubungan langsung dengan penyimpulan dan ar­gumen yang merupakan aktivitas pikiran yang abstrak simbolis. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa penalaran (argumen, penyimpulan) itu simbolnya bahasa. Pernyataan itu simbolnya kiamat. Dan, pengertian itu simbolnya kata. Berdasarkan penjelasan itu, yang dimaksud logika Itu ada dua jenis, yaitu: Pertama, logika formal, yaitu membuat kesimpulan (penalaran, argumen) berdasarkan pada bentuk pertanyaan (proposisi). Kedua, logika material, yaitu membuat kesimpulan (penalaran) berdasarkan pada isi (objek). Karenanya dalam mempelajari logika harus terlebih dahulu mempelajari hubungan bentuk dan isi. Isi yaitu pengertian akan objek, dan bentuk yaitu tempat (wadah) untuk menampung dan menge­mas isi agar isi itu mempunyai makna dan bermanfaat.

Menurut Suwardi Endraswara (2012), logika sebagai esensi dari fil­safat ilmu. Logika berasal dari kata Yunani "logos" yang berarti ucapan, kata, akal budi, dan ilmu. Misalkan ketika belajar biologi, yaitu ilmu (lo­gos) tentang makhluk hidup (bios). Demikianlah, logos dalam pengertian ilmu atau kajian memiliki hubungan yang erat dengan salah satu aspek kajian yang menjadi objek formal dari ilmu pengetahuan sekaligus mem­bedakan ilmu itu dari ilmu-ilmu lainnya.
Selanjutnya dijelaskan dalam filsafat ilmu, jelas tidak mungkin tanpa menggunakan logika. Untuk menjelaskan dan memahami suatu gejala keilmuan, logika selalu hadir. Logika menjadi wahana pokok keilmuan. Secara leksikal, Oxford Dictionary mendefinisikan'logika sebagai "science of reasoning, proof thinking, or inference; praticular scheme of or treatise on this; chain of reasoning, correct or in correct use of argument, ability in argu­ment, arguments." Hal ini senada dengan pertanyaan dalam Meriam Webster's Desk Dictionary, menjelaskan bahwa logika adalah "a science that deals sith rules and test of sound thinking and proof by reasoning." Dalam kamus Oxford juga disebut bahwa aslinya istilah lengkap untuk logika yaitu logike tekhne, yang artinya seni atau keterampilan berpikir.
Apa yang disimpulkan dari pengertian tersebut? Pengertian etimo­logi dan leksikal mengenai logika sebagaimana dikemukakan di atas me­negaskan dua hal sekaligus yang menjadi inti pengertian logika, anta­ra lain: Pertama, logika sebagai ilmu, logika yaitu elemen dasar setiap ilmu pengetahuan. Kedua, logika sebagai seni atau keterampilan, yaitu seni atau asas-asas pemikiran yang tetap, lurus, dan semestinya. Sebagai keterampilan, logika yaitu seni dan kecakapan menerapkan hukum atau asas-asas pemikiran itu agar bernalar dengan tepat, teliti, dan teratur.
Penjelasan yang dikemukakan Suwardi ini sekaligus menggarisbawa­hi bahwa logika menempatkan penalaran sebagai pokok pembicaraan. Apakah suatu pemikiran tepat, teratur, atau lurus? Logika tidak mem­persalahkan siapa atau dalam keadaan apa pembuat penalaran itu ber­ada. Apakah pembuatan penalaran itu waras atau tidak, bukan perhatian logika. Logika juga tidak bermaksud mempelajari sistem interaksi sosial di mana si pembuat penalaran itu berada. Bidang perhatian dan tugas logika yaitu "menyelidiki penalaran yang tepat, lurus, dan semestinya, sehingga dibedakan dari penalaran yang tidak tepat."
Hadiatmaja dan Kuswa Endah (2011) menyatakan, bahwa logika ya­itu cabang ilmu filsafat umum yang membicarakan masalah berpikir te­pat, yaitu mengikuti kaidah berpikir logis. Pembahasan dalam ilmu logika yaitu ukuran dan norma berpikir, yaitu kemampuan akal budi manusia untuk mencapai kebenaran. Maksudnya cabang filsafat yang membicara­kan aturan berpikir agar dapat mengambil kesimpulan secara benar dan tepat.
Kalau begitu filsafat ilmu juga mengajak para ilmuwan untuk berpikir logis, agar ilmu yang demikian semakin terpercaya. Menurutnya, dipan­dang dari aspekwaktu dan kecanggihannya, logika dapat dibedakan men­jadi dua bagian, yaitu: Pertama, logika tradisional atau logika naturalis, yaitu cara berpikir yang sederhana yang berdasarkan kodrat atau naluri fitrah manusia sejak lahir sudah dilengkapi dengan alat berpikir. Kedua, logika modern atau logika artifisialis yang dipelopori Aristoteles dalam bukunya Organeri, yang berarti instrumen atau alat ukur untuk berpikir. Logika artifisialis dibedakan menjadi dua macam, yaitu: (a) logika formal, yaitu ilmu logika yang mempelajari cara-cara atau pekerjaan akal ser­ta menilai hasil dari logika formal yang teruji dengan kenyataan dalam praktik di lapangan;; (b) logika material, yaitu mempelajari sumber pe­ngetahuan, alat pengetahuan, proses terjadinya ilmu pengetahuan yang kemudian merumuskan metode ilmu pengetahuan itu. Logika material juga disebut logika mayor. Logika mayor inilah kemudian menjadi sum­ber filsafat ilmu pengetahuan epistemologi.
Penalaran (bentuk pemikiran) berkaitan sangat erat dengan aktivitas akal budi manusia "berpikir." Berpikir itu sendiri merupakan bagian dari kehidupan manusia. Semua orang sudah melakukannya. Dengan berpikir, kita mampu berdialog, menulis, mengkaji, satuan uraian, mendengarkan penjelasan, dan mencoba menarik kesimpulan dari apa yang kita lihat dan kita dengar. Karena itu dalam kegiatan berpikir kita dituntut untuk sungguh-sungguh melakukan pengamatan yang kuat dan cermat, supa­ya sanggup melihat hubungan, kejenggalan dan kesalahan yang terselubung.
Logika yaitu ilmu sekaligus keterampilan berpikir. Itu berarti mempunyai kemampuan yang cukup tenang logika sebagai ilmu tidak dengan sendirinya menjamin bahwa seseorang dapat bernalar dengan teliti, te­pat dan teratur. Logika muncul bersama dengan filsafat. Ini tidak berarti logika berdiri sendiri sebagai satu disiplin di samping filsafat, tetapi bah­wa dalam filsafat Barat sudah nyata pemikiran yang logis.
Logika memang esensi berpikir filsafat ilmu. Filsafat tanpa logika akan gagal menelaah fenomena. Logika akan membangun kepercayaan orang. Orang yang berlogika semakin mengangkat harga dirinya. Ma­salahnya, ketika logika itu diterapkan pada keputusan Tuhan, orang se­ring harus berargumentasi. Misalkan muncul seorang sebagai pencuri, apakah telah ditakdirkan Tuhan. Persoalannya akan muncul, mengapa Tuhan membuat skenario jelek bagi manusia. Apakah Tuhan memang kesepian hingga menciptakan permainan di dunia ini.
Memang tidak ada jaminan bahwa orang yang mempelajari logika akan mampu menjadi ahli berpikir yang lurus. Meskipun demikian, be­lajar logika tidak akan sia-sia. Belajar logika yaitu belajar metode dan prinsip menilai penalaran/argumen, baik penalaran dari diri sendiri mau­pun orang lain. Dengan belajar logika, kita berharap dapat berpikir kritis, tidak menerima pendapat orang lain begitu saja. Sebelum pendapat itu kita terima, kita uji kelogisannya, apakah penalaran itu tepat atau tidak? Dari aspek inilah manfaat mempelajari logika akan kita rasakan. Secara spesifik Karomani (2009) memberikan penjelasan manfaat belajar logika secara singkat, yaitu: Pertama, melatih jiwa manusia agar dapat mem­perhalus jalan pikirannya. Kedua, mendidik kekuatan akan pikiran dan mengembangkannya dengan sebaik-baiknya, dengan melatih dan mem­biasakan mengadakan penyelidikan tentang cara berpikir itu sendiri. Dengan membiasakan latihan berpikir, manusia akan mudah dan cepat mengetahui di mana letak kesalahan yang menggelincirkannya. Dengan demikian, dia akan mampu berpikir cermat, akurat, dan lurus.


Logika sudah sangat jelas memiliki manfaat bagi kehidupan ma­nusia. Setiap orang, sejak masa lampau tentu sudah memikirkan dunia ini dengan logika. Ketika sekolah SD dahulu, pasti ada pelajaran logika yang diselipkan pada aneka pelajaran seperti IPS, IPA, matematika, dan bahasa. Ketika guru menjelaskan benda yang berat jenisnya lebih berat dibandingkan air, maka akan tenggelam. Di sinilah permainan logika. Ke­tika guru menjelaskan hitungan dengan model gunung susunan dan para gapit, itulah logika matematika yang ditanamkan. Banyak sekali ilmu yang dikuasai manusia harus diterima dan diraih dengan logika.
Aristoteles dan para pengikutnya memandang logika tidak dikate­gorikan sebagai satu ilmu di antara ilmu-ilmu lain. Menurut Aristoteles, "logika" yaitu persiapan yang mendahului ilmu. Atau dapat dikatakan bahwa "logika" yaitu alat (organo) untuk mempraktikkan ilmu pengeta­huan. Orang pertama yang menggunakan istilah logika ialah Cicero (abad pertama SM), tetapi masih pengertian "seni berdebat." Di kemudian hari, yaitu pada permulaan abad ke-3 Masehi, Alexander Aphrodisias meng­gunakan istilah "logika" dengan arti yang dikenal sekarang. Sampai berabad-abad lamanya pembicaraan mengenai logika tidak mengalami perkembangan, tetapi masih tetap sama seperti pada waktu Aristoteles. Immanuel Kant (Abad XVIII) mengatakan logika tidak mengalami per­kembangan. Akan tetapi pada pertengahan abad XIX logika mengalami perkembangan karena acla usaha dari beberapa tokoh yang mencoba me­nerapkan matematika ke dalam logika. Gejala ini dikenal sebagai saat munculnya logika modern. Sejak saat itu logika dibedakan menjadi logika tradisional/klasik dan logika modern yang lazim dikenal sebagai logika matematika/simbolis.
Logika tradisional/klasik yaitu sistem ciptaan Aristoteles yang ber­fungsi untuk menganalisis bahasa. Adapun logika modern berusaha me­nerapkan prinsip matematika terhadap logika tradisional dengan meng­gunakan lambang nonbahasa. Dengan demikian, kebudayaan berkaitan erat satu sama lain. Oleh karena itu, memahami kedua macam logika dengan baik merupakan bantuan yang sangat besar dalam berpikir yang teratur, tepat, dan teliti. Logika modern dirintis oleh orang Inggris, an­tara lain: ADe Morgan (1806-1871), George Boole (1815-1864), dan men­capai puncaknya dengan karya besar A.N. Whitehead dan Bertrand Rus- sel Principle Mathematica. Para perintis logika ilmu pengetahuan ini jelas sudah memikirkan lebih lanjut manfaatnya.
Suwardi Endraswara (2012) mengatakan logika apa pun, secara histo­ris tentu ada makna dan manfaatnya bagi manusia. Secara singkat man­faat logika dalam ilmu pengetahuan dapat dikategorikan sebagai berikut :
1.      Logika menyatakan, menjelaskan, dan menggunakan prinsip abstrak yang dapat dipakai dalam semua lapangan ilmu pengetahuan (bahkan seluruh lapangan kehidupan).
2.      Logika menambah daya berpikir, abstrak dan demikian melatih dan mengembangkan daya pemikiran dan menimbulkan disiplin intelek­tual.
3.      Logika mencegah kita tersedat oleh segala sesuatu kita peroleh ber­dasarkan otoritas, emosi, dan prasangka.
4.      Logika di masa sekarang dikenal "era ofreason" membantu kita un­tuk mampu berpikir sendiri dan tahu membedakan yang benar dari yang palsu.
5.      Logika membantu orang untuk dapat berpikir lurus, tepat, dan ter­atur, karena dengan berpikir demikian ia dapat memperoleh kebenar­an dan menghindari kesesatan.

Dari manfaat logika yang bermacam-macam itu, menandai bahwa proses berpikir itu penting. Berpikir yang logis juga menandai tingkat berpikir seseorang. Untuk menjadi pemimpin dalam ruang lingkup apa pun, tanpa logika jelas kurang sukses. Untuk memberikan ceramah pada suatu komunitas, logika cukup berperan untuk memengaruhi orang. Orang yang belajar dengan bahasa terapan, pasti butuh logika untuk me­mahami yang dipikirkan orang lain. Belum lagi jika bahasa terapan ini di­gunakan oleh orang-orang yang lemah ingatan, cacat tubuh (tunarungu), tentu membutuhkan permainan logika.
Jika begitu, maka hampir semua hal membutuhkan logika berpikir. Dengan bekal logika, ilmu pengetahuan dapat berkembang sampai berca­bang-cabang. Katakan saja di UI, ada beberapa cabang keilmuan yang di­pelajari. Seluruh ilmu yang dipelajari mengacu pada permainan logika. Ilmu budaya memiliki logika yang sedikit berbeda dengan ilmu eksak. Otak manusia dapat mewadahi logika apa saja. Namun permainan logika manusia kadang-kadang sudah dibantu dengan alat. Teknologi sebagai dasar permainan logika dan ilmu pengetahuan, maka akan terus ber­kembang membantu kesejahteraan manusia.

Kita harus bisa membedakan antara pengetahuan dan ilmu penge­tahuan. Menurut Jujun S. Suriasumantri (2010), pengetahuan pada haki­katnya, yaitu segenap apa yang kita ketahui tentang suatu objek terten­tu, termasuk di dalamnya adalah ilmu. jadi, ilmu merupakan bagian dari pengetahuan yang diketahui oleh manusia di samping berbagai pengeta­huan seperti seni (estetika) dan agama.
Penjelasan di atas memberikan pemahaman bahwa pengetahuan itu lebih luas cakupannya ketimbang ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan atau science bagian dari pengetahuan manusia. Selanjutnya dikatakan Jujun, ilmu pengetahuan yaitu pengetahuan yang dihasilkan melalui prosedur yang sistematis yang disebut dengan metode ilmiah. Alur ber­pikir yang tercakup dalam metode ilmiah dapat dijabarkan dalam bebe­rapa langkah yang mencerminkan tahap-tahap dalam kegiatan ilmiah. Kerangka ilmiah bertumpu pada logico hipotético verifikasi yang dalam penelitian bersifat positivistik yang umumnya berupa penelitian kuanti­tatif. Adapun untuk penelitian kualitatif hanya menggunakan unsur logico dan verifikasi, hal ini dikarenakan dalam penelitian kualitatif umumnya tidak melakukan uji hipotesis. Langkah-langkah menuju ilmu pengetahuan menurut metode ilmiah berbasis penelitian kuantitatif se­bagai berikut:
1.      Perumusan masalah.
2.      Penyusunan teori dan kerangka berpikir (logico).
3.      Perumusan hipotesis.
4.      Pengujian hipotesis dan verifikasi (hipotético dan verifikasi).
5.      Penarikan kesimpulan.

Itulah tahapan atau langkah-langkah metode ilmiah yang mendasari lahirnya ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan memiliki prosedur dan metode yang ketat dibandingkan jenis pengetahuan manusia lainnya se­telah pengetahuan filsafat. Filsafat hanya berdasarkan telaah mendalam (radie) yang dilakukan melalui suatu dialektika logis dan sistematis yang bertolak dari sikap skeptis filsuf, kemudian menarik suatu kesimpulan spekulatif ilmu pengetahuan. Jadi, telaah kefilsafatan tidaklah melaku­kan verifikasi empiris seperti proses metode ilmiah dalam menuju ilmu pengetahuan. Namun demikian, filsafat tetap saja pada akhirnya meng­hasilkan ilmu pengetahuan baik fisika maupun metafisika. lustra di sini­lah keunggulan telaah kefilsafatan, dia dapat menembus wilayah metafi­sika, sementara kajian ilmu hanya mampu menembus wilayah fisika.
Ada empat jenis pengetahuan manusia, sebagaimana dikemukakan Anshari (1987) yang dikutip Karomani (2009) sebagai berikut. Pertama, pengetahuan biasa, yaitu pengetahuan tentang hal-hal yang biasa, yang sehari-hari yang selanjutnya disebut pengetahuan. Kedua, pengetahuan ilmiah, yaitu pengetahuan yang mempunyai sistem dan metode ter­tentu yang selanjutnya disebut ilmu pengetahuan. Ketiga, pengetahuan filosofis, yaitu semacam ilmu yang istimewa yang mencoba menjawab masalah yang tidak terjawab oleh ilmu biasa yang selanjutnya disebut filsafat. Keempat, pengetahuan teologis, yaitu pengetahuan keagamaan, pengetahuan tentang pemberitahuan berupa (wahyu) dari Tuhan.
Sesungguhnya ilmu pengetahuan dibangun dari tahapan alam nya­ta, berlanjut pada fenomena, konsep, tema, variabel, proposisi, fakta, dan kemudian pada akhirnya menjadi suatu teori. Alam nyata yaitu realitas dari alam semesta. Fenomena yaitu kejadian atau gejala yang ditang­kap oleh indra manusia, dan kemudian fenomena ini dijadikan masalah karena beium diketahui apa, mengapa, bagaimana adanya. Konsep yaitu istilah atau simbol yang mengandung pengertian singkat dari fenomena itu sendiri. Variabel adalah variasi konsep atau sifat, jumlah atau besaran yang mempunyai nilai (angka) kategori (bertingkat), baik secara kualita­tif maupun kuantitatif sebagai hasil penelaahan dari konsep. Proposisi yaitu kalimat ungkapan yang terdiri dari dua variabel atau lebih yang me­nyatakan hubungan sebab akibat. Fakta yaitu proposisi yang telah teruji kebenarannya secara empiris. Teori yaitu jalinan fakta menurut kerangka yang bermakna. Teori merupakan gabungan dari beragam asumsi, konsep, konstruk, definisi, dan proposisi yang dibangun sebagai pengembangan variabel.
Selanjutnya, dimanakah posisi logika induktif dan deduktif dalam suatu proses penelitian? Karomi (2009) mengemukakan, dalam tahapan metode ilmiah terkandung penalaran logika induktif dan deduktif. Ber­pikir dengan logika induktif bertujuan untuk menarik kesimpulan umum, berupa deskripsi general dari suatu fenomena. Deskripsi umum suatu fenomena ini mengandung persamaan dari yang berbeda dan berbeda dari yang sama. Hal ini diragukan bisa dalam bentuk golongan, ketegori, klasifikasi berdasarkan unsur, ciri,, dan sifat dari unit fenomena (wujud, proses, atau fungsi), yang kelak diberi nama atau istilah definisi yang ke­mudian sampai pada konsep dan variabel. Pengetahuan khusus yang ada pada logika induktif (diperoleh dengan observasi eksploratif) itu berupa deskripsi suatu fenomena (oleh jadi satu unit wujud, proses, atau fungsi) pada sejumlah situasi atau kondisi tertentu.
Pemahaman atas penjelasan itu dapat dikatakan bahwa ketika se­orang peneliti menetapkan rumusan masalah dan mengidentifikasi ma­salah, maka ia melihat kesenjangan antara kenyataan dan harapan (kesen­jangan antara kondisi ideal dan kondisi faktual). Kemudian dia mendesain rumusan masalah untuk pegangan dan panduan penelitian, baik khusus maupun umum dengan menganalisis unsur, ciri, sifat, proses, dan fungsi golongan, kategori, dan klasifikasi dari fenomena yang ada. Pada tahap­an ini ia berpikir menggunakan logika induktif. Lalu ketika membangun teori, konstruk, indikator, kerangka berpikir, dan merumuskan hipotesis, maka saat ini peneliti menggunakan logika deduktif. Kemudian hipotesis ini diuji dan diverifikasi oleh penelitian secara empiris dengan mengum­pulkan dan mengolah data dan fakta yang kemudian melahirkan teori. Pada tahap pengujian hipotesis dan perumusan teori baru hasil peneli­tian ini, maka logika induktiflah yang digunakan peneliti.

Menurut Soekadijo dan Ihromi, yang dikutip Karomani (2009) me­ngatakan kesesatan berpikir dapat terjadi karena pelanggaran terhadap hukum logika, dia dapat terjadi karena kecerobohan dalam penalaran yang berakibat munculnya ambiguitas atau ambivalensi dalam baha­sa yang digunakan utamanya dalam merumuskan suatu argumentasi. Menurut Karomani (2009) dan Darsono Prawironegoro (2011), ada lima kesesatan dalam penalaran ilmu pengetahuan yakni kesesatan formal, kesesatan informal, kesesatan relevansi, kesesatan paralogis, dan kese­satan sofisme.
Kesesatan formal disebabkan kesesatan karena bahasa. Kesesatan formal yaitu penalaran bahasa atau penyimpulan yang bentuk premisnya tidak tepat. Contohnya:
1.      Kesesatan karena four term (empat artian).
2.      Kesesatan karena term tengah tidak terdistribusikan.
3.      Kesesatan karena premis yang mengiyakan dan kesimpulan yang mengingkari.
4.      Kesesatan karena premis negatif dan kesimpulan yang mengiyakan.
5.      Kesesatan karena dua premis yang mengingkari.

Selanjutnya, kesesatan informal yaitu kesesatan yang di luar kese- satan formal, terutama kesesatan logika sebagaimana dikemukakan Soe- kadijo (1988) yang dikutip Karomani, di antara kesesatan informal yaitu kesesatan dari segi bahasa, yaitu ketidaksamaan memberikan arti kata atau kalimat. Ini dapat terjadi sebagai produk dari kebudayaan, di mana dalam ruang dan waktu yang berbeda, kata dan kalimat mempunyai arti yang berbeda. Untuk menghilangkan kesesatan bahasa ini, manusia men- ciptakan berbagai lambang, seperti: +, -,:, dan x. Contoh kesesatan formal sebagai berikut:
1.      Kesesatan karena aksen atau tekanan kata yang berbeda.
2.      Kesesatan yang disebabkan term ekuivok atau arti kata yang berbeda.
3.      Kesesatan yang disebabkan oleh arti kata kiasan yang berbeda.
4.      Kesesatan yang diakibatkan amfiboli, yaitu konstruksi kalimat yang mempunyai arti berbeda-beda.

Kesesatan berikutnya, kesesatan relevansi yaitu suatu penalaran atau penyimpulan di mana tidak ada hubungan logis antara premis dan kesimpulannya (conclusion), atau kesimpulannya tidak relevan dengan premisnya. Contohnya sebagai berikut:
1.      Kesesatan argumentum ad hominem.
2.      Kesesatan argumentum ad veruamdiam.
3.      Kesesatan argumentum ad baculum.
4.      Kesesatan argumentum ad misericordiam.
5.      Kesesatan argumentum ad popolum.
6.      Kesesatan karena non causa pro causa.
7.      Kesesatan karena aksidensi.
8.      Kesesatan yang disebabkan oleh komposisi dan devisi.
9.      Kesesatan karena petition principli.
10.  Kesesatan karena ignoration elenchi.
11.  Kesesatan yang disebabkan pertanyaan kompleks.
12.  Kesesatan karena argumentum ad ignoratiam.
13.  Kesesatan tu squitur.
14.  Kesesatan tu quogue.

Berikutnya kesesatan paralogis,yaitu suatu kesesatan penalaran atau penyimpulan yang sesat di mana orang yang membuatnya tidak menge­tahuinya bahwa apa yang disimpulkan itu sesat. Boleh jadi ini disebabkan karena tidak pahamnya bahasa, tidak pahamnya konteks, dan tidak pahamnya situasi sosial budaya, kemudian menarik suatu kesimpulan yang pada akhirnya salah.
Terakhir kesesatan sofisme, yaitu kesesatan dalam penalaran atau penyimpulan yang sesat di mana orang yang membuatnya dengan senga­ja membuatnya. Kesesatan dalam hal ini, yaitu kesesatan yang disengaja dilakukan oleh peneliti, tentu untuk kepentingan dan maksud tertentu.

Filsafat Timur selalu dipandangkan dengan filsafat Barat. Secara geografis atau tipologi, filsafat Timur yaitu filsafat berpikir yang pada umumnya berlaku atau dihidupi oleh orang-orang dari belahan Timur dunia ini, bagaimana mereka melihat dan memahami realitas di sekitar­nya. Adapun filsafat Barat pada umumnya berlaku dan dihidupi oleh orang-orang yang hidup di belahan dunia Barat, termasuk Eropa daratan, Asia Barat, dunia Anglo-Saxon (Inggris, Irlandia, Skotlandia, USA., dan Kanada), dan Amerika pada umumnya. Dalam filsafat ini kita melihat pembagian realitas hidup mereka.
Kalau kita meneropong atau pola berpikir dan pola tingkah laku orang-orang di belahan dunia Timur, maka kita juga akan menemukan pembagian macam filsafat karena dunia Timur sendiri terdiri dari sekian banyak bangsa, negara, kelompok etnis, agama, pandangan hidup, kebu­dayaan, dan peradaban yang berbeda. Karena perbedaan dalam budaya dan peradaban ini, kita juga akan menemukan perbedaan dalam pem­bagian sistem, nilai, ciri, dan karakter, bahasa, kebiasaan dan tingkah laku. Ini jelas diperhatikan dalam variasi cara-pandang dan cara berpikir, penampilan, dan sikap hidup serta motivasi hidup manusia dari pemba­gian suku cadang dan bangsa. Demikan pula agama dan aliran keperca­yaan yang berbeda.
Perbedaan paradigma logika Barat dan Timur dapat dilihat dari em­pat karakter utama, yaitu:


Pertama, negara belahan dunia Timur terdiri dari banyaknya negara yang memiliki jumlah penduduk yang sangat besar sejalan dengan angka kelahiran yang masih tinggi di banyak negara, banyak penduduk masih diklasifikasikan sebagai kaum miskin dan masih hidup di bawah standar manusiawi. Sejalan dengan kepadatan penduduk dan kemiskinan, kita masih dapat menemukan pembagian gejala lemah lainnya sebagai tu­runan dari ciri pokok di atas. Belahan dunia Barat sebaliknya ditandai kemajuan dan teknologi, rekayasa, dan kuasa.
Kedua, berbeda dengan manusia Barat yang lebih aktif, manusia Timur lebih bersifat pasif. Ini dapat dicerca dalam ajaran pokok, misalkan penghormatan terhadap kosmos, alam semesta, konfusianisme, Taoisme, Budhisme, dan lain-lain.
Ketiga, di dunia Timur penekanan utama lebih diberikan kepada in­tuisi dan perasaan (mempertemukan akal budi dengan intuisi, inteligen­sia, dan perasaan), juga penekanan pada hidup batiniah, spiritulal, dan mistis. Atas dasar ini tujuan belajar bagi orang Timur yaitu lebih untuk mencapai kebijaksanaan dan kebijakan hidup (harmoni dengan kosmos) daripada penyebaran pengetahuan dan informasi sebagaimana di dunia Barat. Penekanan hanya pada akal budi di dunia Barat menjadi dasar penguasaan manusia atas aiam dunia meiaiui iimu pengetahuan dan tek­nologi, kapitalisme, penemuan dunia baru dan imperiaslisme. Di dunia Barat, pengetahuan dan informasi sangat mendapat perhatian dan pe­nyebarannya pun mendapat tempat utama.
Keempat, dunia Barat, alam dunia dilihat sebagai objek dan lapangan kerja. Menusia harus menguasainya demi kepentingan sendiri. Di dunia Timur, manusia dilihat sebagai bagian utuh dari alam. Oleh karena itu, penekanan lebih diberikan kepada etika harmoni dalam hidup setiap orang. Dengan kata lain, kalau Dunia Barat orang lebih berpegang pada prinsip "berbuat lebih penting daripada sekadar hadir dan ada" (to do is more important that to be), di dunia Timur orang lebih mengutamakan "ada dan kehadiran daripada apa yang orang perbuat" (to be is more impor­tant that to do). Karena itu orang Timur lebih suka adanya pertentangan, konflik, dan kompetisi, tidak biasa dalam konflik frontal dengan orang lain dan pembagian sikap dan kesulitan atau keberuntungan psikologis lain yang berakar dari sini.
Dilihat dari sudut makna perbedaan Barat dan Timur, sebagai manu­sia makhluk berpikir dan memiliki logika, semuanya sama. Semua manu­sia memiliki harkat dan martabat yang sama. Semua manusia memiliki harkat dan martabat, harga diri yang sama. Namun perbedaannya ki­ta terletak pada pola pikir dan pola pandang kita terhadap dunia yang menurunkan pembagian macam perbedaan lain, baik secara transparan yang dapat dilihat dan dibaca maupun secara tersembunyi dan tidak ke­lihatan.
Untuk dapat memperoleh gambaran yang jelas tentang filsafat Ti­mur, maka dapat dilihat berdasarkan pemetaan mengenai pembagian soal yang dibahas dalam wilayah filsafat Timur. Dalam bahasa ini kita akan lebih memusatkan perhatian pada kebudayaan besar yang diambil sebagai pusat peradaban dunia, seperti Tiongkok, India, Jepang. Peradab­an Tiongkok dan China melahirkan paham Budhisme yang sudah agak lebih berkembang karena pertemuannya dengan peradaban dan kebu­dayaan setempat.
Peradaban ini juga telah menurunkan aliran filsafat utama, seperti konfusianisme dan Taoisme. Kebudayaan dan peradaban India mela­hirkan Hinduisme dan Budhisme pada tahap perdana. Dari peradaban seperti ini lahirlah banyak penemuan dalam dunia ilmu pengetahuan, dan para pemikir serta para pertapa besar. Kebudayaan dan peradaban Jepang menampilkan Shintoisme dan Zen Budhisme, serta kepercayaan lain dalam persentuhan antara kebudayaan asli dan perkembangan Bu­dhisme.
Secara khusus kita juga akan melihat filsafat Nusantara yang mem­bentang dari ujung barat sampai unjung timur kepulauan Nusantara ini. Kita melihat bagaimana orang-orang Indonesia dengan variasi kebudaya­an dan peradabannya memandang dan memahami realitas hidupnya, bagaimana mereka hidup dan memandang kosmos, diri, dan sesama ma­nusia serta Tuhan. Bagaimanan pola sikap dan tingkah laku serta cara berpikir tentu dibentuk berdasarkan pandangan mereka tentang realitas hidup mereka.

Menurut Josep Morgalis (2012), keraguan dan kepastian bukan me­rupakan hal-hal yang hanya dalam psikologis melainkan hal-hal yang logis dan konseptual. Kita bertanya-tanya bukan hanya apakah keadaan mental tertentu dapat dihindari atau diteruskan, melainkan juga apakah kepercayaan kognitif kita dapat dibenarkan dan secara relevan dibebas­kan dari tantangan. Permasalahannya, memengaruhi secara mendalam semua usaha manusia untuk pengetahuan; dan oleh karenanya menarik kita pada kompleksitas yang luar biasa dari hubungan antara keraguan dan kepastian di suatu sisi, di sisi lain pengetahuan dengan kepercayaan.
Manusia selalu bertanya-tanya apakah mereka pernah berhak dapat melepaskan diri dari keraguan atau mencapai kepastian tentang keper­cayaan mereka. Josef memberikan pandangan, ada tiga keraguan dalam filsafat yang pada akhirnya dapat memberikan kepastian, yakni: Pertama, keraguan psikologis dengan kepastian psikologi. Keraguan ini meru­pakan keadaan mental yang berbeda, paling tidak yang secara nominal relevan terhadap suatu proposisi yang berlaku dalam pengertian bahwa jika p merupakan suatu proposisi yang berlaku, maka seseorang jelas ada dalam keadaan ketidakpastian bahwa p yaitu benar, atau dalam suatu ke­adaan kepercayaan yang berbeda di antara kedua ekstrem tersebut.
Kedua, keraguan logis dengan kepastian logis. Secara kontras meru­pakan apa yang disebut keadaan logis atau fungsional, dalam pengertian di mana keadaan itu tidak perlu secara psikologis diwujudkan menjadi yang relevan secara kognitif terhadap kepercayaan bahwa p benar. Mengasumsikan bahwa kita mempunyai teori komprehensif dari peristiwa dan dasar-dasar yang memberikan untuk memercayai suatu proposisi, kita seharusnya menemukan provisi dalam teori itu untuk membenarkan ker­aguan dan kepastian yang berhubungan dengan kepercayaan. Jika p be­nar dan diketahui benar, maka secara umum, keraguan yang tergantung pada kebenaran dan pengetahuan akan p harus segera relevan maupun, akan diangkat atau dihentikan.
Oleh karenanya, karaguan logis dan kepastian logis mungkin meru­pakan keadaan pikiran bahwa dengan jangkauan teori kita akan penge­tahuan, secara reievan tergantung pada kebenaran suatu proposisi atau keberdirian suatu perantara yang dinyatakan benar tanpa bukti menge­tahui atau jelas memercayai proposisi itu. Oleh karena itu, dengan jelas keraguan psikologis secara kognitif relevan jika dan hanya jika keraguan itu merupakan ungkapan dari keadaan dari keraguan logis. (Penyesuaian diperlukan, sebagai yang akan kita lihat, untuk kepastian.)
Ketiga, keraguan empiris dengan kepastian empiris. Paham ini me­maknakan bahwa kebenaran dari suatu proposisi aritmetik, misalnya 8 + 7 = 15 yang kita kira pasti benar. Juga tidak untuk mengatakan bahwa teori kognitif hanya berhubungan dengan menghilangkan keraguan empiris atau mencapai kepastian empiris. Karena sepenuhnya mungkin bahwa keraguan logis bisa diformulasikan bahwa tidak ada manusia perantara yang sesungguhnya merupakan ungkapan darinya seperti keraguan em­piris, atau sesungguhnya merupakan ungkapan darinya dalam suatu in­terval waktu yang ada.
Akan tetapi, untuk kembali pada pembedaan keadaan empiris dari keraguan dan kepastian, kita harus mengakui suatu ketidaksimetrisan berkenaan dengan jangkauan konsep pokok dari keraguan dan kepastian. Didasarkan pada kenyataan itu, terpaksa mengharuskan kita mengadopsi keraguan itu sebagai suatu perantara rasional menuju kepastian.


4 komentar:

  1. MAKASIH BANYAK SHARING ILMUNYA, BISA MEMBANTU TUGAS SAYA

    BalasHapus
  2. terimakasih atas ilmunya .. tentang logika dan penalaran dan kaitannya denga filsafat dan ilmu pengetahuan.. sangat bermanfaat, bisa disebutkan referensinya pak?

    BalasHapus
  3. Maaf mau bertanya diatas dibagian logika dan kesesatan ilmu pengetahuan
    Kan ada formal dan informal, itu ada 5 contoh yg formal,trus yg dibagian informal itu contoh formal apa informal yah? ditullisannya formal seharusnya informal?

    BalasHapus

Silahkan memberikan komentar serta kritik dan saran yang membangun. Terima Kasih.

Popular Post