Dalam kehidupan
seperti sekarang ini, setiap orang hampir setiap saat dihadapkan dengan logika
dan/atau sebaliknya. Secara sederhana dipahami logika itu berpikir secara
logis, atau masuk akal. Tidak sedikit kehidupan kita dan sekitar kita
menyaksikan dan merasakan sesuatu yang tidak logis, baik menyangkut perihal
kemasyarakatan, pemerintahan, kebangsaan, maupun persoalan kelompok dan
individu dalam masyarakat, tidak ketinggalan perihal di dunia pendidikan,
politik, ekonomi, hingga birokrasi.
Sesuatu yang logis
biasanya akan mudah dipahami oleh nalar kita, tetapi sesuatu yang tidak logis
kadang bertentangan dengan pikiran dan hati kita. Dalam banyak hal, kita sering
mengalami berbagai kejadian yang kita pikir tidak logis, misalkan ada yang
jelas-jelas melakukan korupsi dengan uang miliaran rupiah bahkan triliunan,
tapi di mata hukum kok sama dengan seorang pencuri seekor ayam. Ada juga yang
sudah jelas terbukti bersalah tapi tidak bisa disentuh oleh hukum, ada juga di
dunia pendidikan sudah sekolah ke jenjang tertinggi tetapi tidak ada institusi
atau dinas pemerintah dan swasta yang dapat menerima dirinya untuk bekerja
sehingga harus puas di terminal pengangguran.
Masih terdapat sederet soal yang
kadang kita hadapi secara tidak logis dalam kehidupan, sehingga ada yang
mengatakan inilah "zaman edan, yakni satu zaman yang diwarnai oleh perihal
serba-serbi tidak masuk akal." Tapi ada juga yang mengatakan, sesuatu yang
tidak masuk akal itu indah, seindah kebohongannya. Sebab katanya kalau masuk
akal, logis dan masuk dalam nalar kita itu sih biasa saja hanya
"linier" tapi sesuatu yang irasional itu yang luar biasa,
"artinya otak cerdasnya jalan" secara diagonal. Lagi-lagi inilah
"zaman edan, logika yang edan, berpikir yang edan, oleh anak negeri yang
edan."
Namun demikian, atas
dasar realitas itulah diperlukan suatu logika dalam kehidupan manusia, agar
kita mengetahui kapan saatnya berpikir logis, kapan saatnya kita berpikir tidak
logis, setiap tempat dan waktu ada logikanya, setiap logika ada waktu dan
tempatnya. Kalau memahami hakikat kedua konsep ini dengan baik dan benar,
justru kita dapat menempatkan diri dalam segala keadaan secara proporsional di
tengah manusia yang bervariasi tingkat logika dan pemikirannya.
Menurut Andre
Ata, dkk. (2012),
konsep "logika" atau "logis" sudah sering kita dengar dan
kita gunakan. Dalam bahasa sehari-hari, perkataan "logika" atau
"logis" menunjukkan cara berpikir atau cara hidup atau sikap hidup
tertentu, yaitu yang masuk akal, yang "reasonable",
yang wajar, yang
beralasan atau berargumen,, yang ada rasionya atau hubungan rasionalnya, yang
dapat dimengerti, walaupun belum tentu disetujui atau tentang benar atau
salah. Dalam arti ilmiah, perkataan logika menunjukkan pada suatu disiplin
ilmui; yang dimaksud dengan disiplin di sini yaitu disiplin ilmiah, yaitu
kegiatan intelektual yang dipelajari untuk memperoleh pengetahuan dan
pemahaman dalam bidang tertentu secara sistematik-rasional argumentatif dan
terorganisasi yang terkait atau tunduk pada aturan, prosedur, atau metode
tertentu. Setiap disiplin mewujudkan ilmu atau cabang ilmu pengetahuan
tertentu. Misalnya biologi, yaitu disiplin yang termasuk ilmu alam;
mikrobiologi, yaitu suatu disiplin ilmu atau subdisiplin yang termasuk dalam
disiplin ilmu biologi.
Menurut Arief
Sidharta (2010), kata logika sering juga digunakan untuk bahasa percakapan
sehari-hari. Kata itu memiliki beberapa pandangan arti dalam penggunaan secara
umum, seperti "wajar", dapat diterima atau bisa juga digunakan dalam
arti kultur untuk menggambarkan sikap khas suatu kelompok masyarakat. Dalam
konteks umum, kata logika sering diartikan sebagai "masuk akal, wajar,
pantas bisa diterima, atau dapat dipahami."
Dalam dunia akademis,
logika sering juga dikenal sebagai salah satu nama mata kuliah yang diajarkan
di perguruan tinggi, kalau di perguruan tinggi agama logika ini diidentikkan
dengan mata kuliah ilmu mantik. Secara khusus, logika dalam konteks ilmiah kita
temukan arti khusus dari logika dan sekaligus mengantarkan kita kepada alasan
mengapa logika dipelajari secara formal. Ada dua pandangan yang dapat kita
pahami dalam konteks ini. Pertama, Irving Copi seorang filsuf dari
USA (2002) - mengatakan, yaitu logika adalah studi tentang metode dan prinsip
yang digunakan dalam membedakan penalaran yang baik dan benar dari penalaran
yang buruk dan salah (logic is the study ofthe methods and
principles itsed to distinguish good/correct from bad/incorrect reasoning). Pengertian ini menunjukkan bahwa
mempelajari logika berarti mempelajari hukum dan prinsip berpikir yang mengatur
atau melandasi dan sekaligus memberikan alasan mengapa suatu penalaran dapat
dikatakan sebagai sesuatu yang logis dan juga menjelaskan mengapa suatu
penalaran harus dikatakan sebagai tidak logis. Kedua, Norman Geisler dan
Ronald Brooks (1990) mengatakan, bahwa logika yaitu kajian tentang penalaran
yang benar atau menyimpulkan yang valid (sah) dan dapat mengenali adanya
kesalahan berpikir baik secara formal maupun informal.
Dari dua paham yang
dikemukakan ini, dapat kita katakan bahwa logika tidak hanya mengajarkan
bagaimana suatu penyimpulan yang tepat, tetapi juga membuat kita waspada
terhadap kemungkinan kesalahan yang kita lakukan dalam pembuatan kesimpulan.
Dengan demikian dapat kita pahami, pengertian logika menurut para pemikir atau
filsuf di atas, dalam arti yang khusus, logika sebenarnya merupakan kajian
dalam proses penalaran yang bertolak dari penerapan prinsip berpikir dalam
suatu penalaran yang tepat, yang digunakan dalam membedakan penalaran yang baik
dan benar dari penalaran yang buruk dan salah "sesat
berpikir..
C.
LOGIKA DAN ILMU PENGETAHUAN.
Socrates (469-399 SM)
mengatakan ribuan tahun yang lalu, bahwa pada dasarnya manusia bersifat ingin
tahu. Keingintahuan yaitu bagian dari kealamiahan manusia. Seorang anak kecil
yang masih usia dini ketika dia bermain balok kemudian menyusun balok-balok
itu menjadi suatu bangunan, akan menemui suatu logika dari permainan itu,
misalnya mengapa gedung yang dibuat dari balok itu bisa roboh, lalu dia menemukan
jawabannya sendiri "oh karena fondasi bangunan yang dia buat tidak besar,
jadi tidak punya kekuatan." Lalu si anak ketika membuat bangunan gedung
dengan balok kembali, dia membuat fondasi bangunan baloknya dibuat menjadi
lebih besar,, agar bangunan yang dibuat tidak ambruk atau rubuh. Begtulah
logika dalam ilmu pengetahuan dapat diperkenalkan pada seorang anak hingga seorang
ilmuwan dapat mengembangkan logika berpikirnya dalam ilmu pengetahuan. Mengapa
seorang anak bertanya atas perbuatannya sendiri terhadap balok-balok kayu yang
dia susun, ini merupakan salah satu bentuk manusia yang penuh dengan rasa
ingin tahu.
Juniarso Ridwan
(2010) mengatakan, bahwa Socrates telah berusaha menemukan dan mengajarkan
prinsip-prinsip universal tentang "keadilan" dan "hukum yang
benar." Keadilan itu sesungguhnya telah bermukim di dalam diri dan dalam
kesadaran manusia itu sendiri "given." Untuk mengajarkan hal itu, ia
memanfaatkan metode yang terkenal hingga sekarang yakni,
"socratic method,"
yaitu dengan mengajukan sejumlah pertanyaan yang akan merangsang serta
memperkuat para muridnya dalam berpikir sedalam-dalamnya untuk menyiapkan makna
keadilan dan
hukum yang
benar.
Dorongan
keingintahuan pada manusia muncul dari akalnya. Manusia yaitu makhluk yang berakal
dan memiliki kesadaran akan realitas di luar dirinya. Semua yang dilakukannya tidak terlepas
dari kesadaran dan
akalnya itu.
Ilmu pengetahuan lahir sebagai jawaban bagi keingintahuan manusia yang tidak
pernah berhenti. Maka tidaklah mengherankan, jika ilmu pengetahuan yang dibangun
dan diciptakan manusia akan terus
berkembang
selama ada kehidupan makhluk berakal budi di mana pun di Bumi.
Ujan Andre Ata, dkk.
(2012) mengatakan, akal manusia menuntunnya pada pengetahuan. Tetapi tidak
semua pengetahuan bisa begitu
saja menjadi
milik manusia semata-mata hanya karena akalnya semata. Karena ada jenis pengetahuan yang
membutuhkan sistematika, koherensi dan metode tertentu, jenis
pengetahuan ini dikenal sebagai ilmu pengetahuan ilmiah, yang bisa
diidentifikasikan sebagai disiplin sistematis, metodis, rasional, dan
koheren yang menyelidiki aspek tertentu dari realitas.
Dalam kaitan dengan
syarat-syarat ilmu pengetahuan, logika memegang peranan sangat penting.
Logika menjadi semacam alat ukur yang harus digunakan untuk menentukan
bukan saja kadar keilmiahan dalam
suatu teori
ilmu pengetahuan yang dirumuskan, melainkan juga validitas teori ilmu pengetahuan. Dengan
latar belakang logika yang telah dike- mukakan, dapat dipahami
keterkaitan dan pentingnya keberadaan logika dalam hubungannya dengan ilmu
pengetahuan.
Menurut Darsono Prawironegoro
(2011), logika adalah suatu metode yang diciptakan untuk meneliti ketepatan
penalaran. Bentuk-bentuk pemikiran yaitu pengertian atau konsep (coceptus,
concept), proposisi
atau pertanyaan (proposition, statement),
dan penalaran (ratiocinium,
reasoning). Tidak
ada proposisi tanpa pengertian dan tidak ada penalaran tanpa proposisi.
Pengertian atau lazim
disebut konsep (coceptus, concept),
yaitu hasil
observasi indra terhadap objek yang diolah otak, maka pengertian disebut data
psikologis. Pengertian merupakan bahan baku untuk berpikir lebih lanjut.
Pengertian tentang objek merupakan abstraksi atas objek itu yang dituangkan ke
dalam bahasa. Bahasa yaitu lambang atas simbol atas objek yang menjelaskan
ciri-ciri objek. Objek diabstraksi oleh otak dan dilambangkan dalam bahasa itu
berbentuk kata. Misalnya manusia, binatang, gung, dan laut. Bangunan logika
digambarkan dalam gambaran di bawah ini.
Otak merangkai kata
menjadi suatu pertanyaan atau proposisi (proposition,,
statement), misalkan
gunung itu tinggi, binatang itu buas, dan sebagainya. Pengertian tinggi untuk
gunung dan buas untuk anjing itu disebut predikat
(yang menerangkan),
sedangkan pengertian gunung dan anjing itu disebut subjek
(yang diterangkan).
Dalam suatu proposisi terjadi dua kemungkinan, yaitu pengakuan dan
pengingkaran. Proposisi pengakuan contohnya binatang itu buas, sedangkan
proposisi pengingkaran yaitu binatang itu tidak buas. Proposisi harus
dibuktikan, ia bisa benar dan bisa salah. Dengan demikian, proposisi hakikatnya
yaitu apa yang ada di pikiran manusia. Pikiran itu harus dibuktian dengan
kondisi objektif. Adapun pengertian selalu benar karena ia merupakan objek itu
sendiri atau pengertian selalu objektif.
Apa itu arti kata
penalaran?
Menurut Ujan selanjutnya, penalaran adalah suatu proses berpikir yang
menggunakan argumen, pertanyaan, premis atau aksioma untuk menentukan
benar-salahnya suatu kesimpulan. Penalaran bersifat logis, jika kesimpulan
yang dihasilkan oleh argumen, pertanyaan, atau premis yang benar. Sebaliknya, kesimpulan
yang dihasilkan dari argumen atau premis yang salah akan menghasilkan penalaran
yang tidak logis.
Secara sederhana dapat dikatakan
bahwa penalaran adalah proses berpikir dalam menarik suatu kesimpulan
berdasarkan sejumlah informasi yang tersedia. Misalkan Anda mengetahui bahwa
papa Imam ialah pemilik pabrik sawit di Jambi. Hanya berdasarkan informasi ini
Anda bisa menarik beberapa kesimpulan, yaitu papa Imam itu orang kaya, dia memiliki
banyak karyawan, dia memiliki rumah mewah, dan anak-anaknya di luar negeri
sekolah yang terkemuka. Kesimpulannya yang Anda tarik itu bersifat logis,
karena penalaran kita mengolah informasi yang diperoleh dan mengombinasikan
dengan pengetahuan awal. Dalam arti itu, dapat dikatakan bahwa pertanyaan baru
berdasarkan apa yang telah kita ketahui.
Setiap penalaran
memiliki struktur yang sangat sederhana, yaitu adanya pertanyaan (premis atau
argumen), lalu pertanyaan itu diolah nalar sebelum menghasilkan kesimpulan.
"Premis—penalaran—kesimpulan," Penalaran berangkat dari sesuatu yang
sudah ada atau apa yang sudah diketahui, dari sana baru ditarik suatu
kesimpulan. Apa yang sudah diketahui itu disebut premis, fakta, bukti, dasar,
atau alasan. Kita tidak bisa menarik kesimpulan dari apa yang tidak diketahui.
Apa yang disimpulkan itu disebut kesimpulan (konklusi). Selain sebagai proses
akal budi dalam menarik kesimpulan, penalaran itu sendiri disebut juga penyimpulan
(inference).
Proposisiyangdianggap benar atau
dinyatakanbenar dikombinasikan dengan proposisi yang lainnya yang juga dianggap
benar menghasilkan proposisi baru yang disebut penalaran
(mtiocinium).
Contoh, Amat mati, Badu mati, Koni mati; jadi semua orang akan mati. Proposisi
yang menjadi dasar penyimpulan disebut premis, Dan, proposisi yang menjadi
kesimpulan yaitu konklusi (konsekuensi). Pada contoh tersebut, konklusinya
lebih luas daripada premisnya, maka disebut generalisasi. Penalaran yang
demikian disebut penalaran induktif. Lawan dari penalaran induktif yaitu
penalaran deduktif yaitu konklusinya lebih sempit daripada premisnya. Contoh,
semua manusia akan mati, jadi Badu akan mati.
Penalaran itu
berhubungan langsung dengan penyimpulan dan argumen yang merupakan aktivitas
pikiran yang abstrak simbolis. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa penalaran
(argumen, penyimpulan) itu simbolnya bahasa. Pernyataan itu simbolnya kiamat.
Dan, pengertian itu simbolnya kata. Berdasarkan penjelasan itu, yang dimaksud
logika Itu ada dua jenis, yaitu: Pertama, logika formal, yaitu membuat
kesimpulan (penalaran, argumen) berdasarkan pada bentuk pertanyaan (proposisi).
Kedua, logika material, yaitu membuat
kesimpulan (penalaran) berdasarkan pada isi (objek). Karenanya dalam
mempelajari logika harus terlebih dahulu mempelajari hubungan bentuk dan isi.
Isi yaitu pengertian akan objek, dan bentuk yaitu tempat (wadah) untuk
menampung dan mengemas isi agar isi itu mempunyai makna dan bermanfaat.
Menurut Suwardi
Endraswara (2012), logika sebagai esensi dari filsafat ilmu. Logika berasal
dari kata Yunani "logos" yang berarti ucapan, kata, akal
budi, dan ilmu. Misalkan ketika belajar biologi, yaitu ilmu
(logos)
tentang makhluk hidup (bios). Demikianlah,
logos dalam
pengertian ilmu atau kajian memiliki hubungan yang erat dengan salah satu aspek
kajian yang menjadi objek formal dari ilmu pengetahuan sekaligus membedakan
ilmu itu dari ilmu-ilmu lainnya.
Selanjutnya
dijelaskan dalam filsafat ilmu, jelas tidak mungkin tanpa menggunakan logika.
Untuk menjelaskan dan memahami suatu gejala keilmuan, logika selalu hadir.
Logika menjadi wahana pokok keilmuan. Secara leksikal,
Oxford Dictionary
mendefinisikan'logika sebagai "science of reasoning,
proof thinking, or inference; praticular scheme of or treatise on this; chain
of reasoning, correct or in correct use of argument, ability in argument,
arguments."
Hal ini senada dengan pertanyaan dalam Meriam Webster's Desk
Dictionary,
menjelaskan bahwa logika adalah "a science that
deals sith rules and test of sound thinking and proof by reasoning." Dalam kamus
Oxford juga
disebut bahwa aslinya istilah lengkap untuk logika yaitu
logike tekhne,
yang artinya seni atau keterampilan berpikir.
Apa yang disimpulkan
dari pengertian tersebut? Pengertian etimologi dan leksikal mengenai logika
sebagaimana dikemukakan di atas menegaskan dua hal sekaligus yang menjadi inti
pengertian logika, antara lain: Pertama, logika sebagai ilmu, logika
yaitu elemen dasar setiap ilmu pengetahuan.
Kedua, logika
sebagai seni atau keterampilan, yaitu seni atau asas-asas pemikiran yang tetap,
lurus, dan semestinya. Sebagai keterampilan, logika yaitu seni dan kecakapan
menerapkan hukum atau asas-asas pemikiran itu agar bernalar dengan tepat,
teliti, dan teratur.
Penjelasan yang
dikemukakan Suwardi ini sekaligus menggarisbawahi bahwa logika menempatkan
penalaran sebagai pokok pembicaraan. Apakah suatu pemikiran tepat, teratur,
atau lurus? Logika tidak mempersalahkan siapa atau dalam keadaan apa pembuat
penalaran itu berada. Apakah pembuatan penalaran itu waras atau tidak, bukan
perhatian logika. Logika juga tidak bermaksud mempelajari sistem interaksi
sosial di mana si pembuat penalaran itu berada. Bidang perhatian dan tugas logika
yaitu "menyelidiki penalaran yang tepat, lurus, dan semestinya, sehingga
dibedakan dari penalaran yang tidak tepat."
Hadiatmaja dan Kuswa
Endah (2011) menyatakan, bahwa logika yaitu cabang ilmu filsafat umum yang
membicarakan masalah berpikir tepat, yaitu mengikuti kaidah berpikir logis.
Pembahasan dalam ilmu logika yaitu ukuran dan norma berpikir, yaitu kemampuan
akal budi manusia untuk mencapai kebenaran. Maksudnya cabang filsafat yang
membicarakan aturan berpikir agar dapat mengambil kesimpulan secara benar dan
tepat.
Kalau begitu filsafat
ilmu juga mengajak para ilmuwan untuk berpikir logis, agar ilmu yang demikian
semakin terpercaya. Menurutnya, dipandang dari aspekwaktu dan kecanggihannya,
logika dapat dibedakan menjadi dua bagian, yaitu:
Pertama,
logika tradisional atau logika naturalis, yaitu cara berpikir yang sederhana
yang berdasarkan kodrat atau naluri fitrah manusia sejak lahir sudah dilengkapi
dengan alat berpikir. Kedua, logika modern atau logika
artifisialis yang dipelopori Aristoteles dalam bukunya
Organeri,
yang berarti instrumen atau alat ukur untuk berpikir. Logika artifisialis
dibedakan menjadi dua macam, yaitu: (a) logika formal, yaitu ilmu logika yang
mempelajari cara-cara atau pekerjaan akal serta menilai hasil dari logika formal
yang teruji dengan kenyataan dalam praktik di lapangan;; (b) logika material,
yaitu mempelajari sumber pengetahuan, alat pengetahuan, proses terjadinya ilmu
pengetahuan yang kemudian merumuskan metode ilmu pengetahuan itu. Logika
material juga disebut logika mayor. Logika mayor inilah kemudian menjadi sumber
filsafat ilmu pengetahuan epistemologi.
Penalaran (bentuk
pemikiran) berkaitan sangat erat dengan aktivitas akal budi manusia
"berpikir." Berpikir itu sendiri merupakan bagian dari kehidupan manusia.
Semua orang sudah melakukannya. Dengan berpikir, kita mampu berdialog, menulis,
mengkaji, satuan uraian, mendengarkan penjelasan, dan mencoba menarik
kesimpulan dari apa yang kita lihat dan kita dengar. Karena itu dalam kegiatan
berpikir kita dituntut untuk sungguh-sungguh melakukan pengamatan yang kuat dan
cermat, supaya sanggup melihat hubungan, kejenggalan dan kesalahan yang
terselubung.
Logika yaitu ilmu sekaligus
keterampilan berpikir. Itu berarti mempunyai kemampuan yang cukup tenang logika
sebagai ilmu tidak dengan sendirinya menjamin bahwa seseorang dapat bernalar
dengan teliti, tepat dan teratur. Logika muncul bersama dengan filsafat. Ini
tidak berarti logika berdiri sendiri sebagai satu disiplin di samping filsafat,
tetapi bahwa dalam filsafat Barat sudah nyata pemikiran yang logis.
Logika memang esensi
berpikir filsafat ilmu. Filsafat tanpa logika akan gagal menelaah fenomena.
Logika akan membangun kepercayaan orang. Orang yang berlogika semakin
mengangkat harga dirinya. Masalahnya, ketika logika itu diterapkan pada
keputusan Tuhan, orang sering harus berargumentasi. Misalkan muncul seorang
sebagai pencuri, apakah telah ditakdirkan Tuhan. Persoalannya akan muncul,
mengapa Tuhan membuat skenario jelek bagi manusia. Apakah Tuhan memang kesepian
hingga menciptakan permainan di dunia ini.
Memang tidak ada
jaminan bahwa orang yang mempelajari logika akan mampu menjadi ahli berpikir
yang lurus. Meskipun demikian, belajar logika tidak akan sia-sia. Belajar
logika yaitu belajar metode dan prinsip menilai penalaran/argumen, baik
penalaran dari diri sendiri maupun orang lain. Dengan belajar logika, kita
berharap dapat berpikir kritis, tidak menerima pendapat orang lain begitu saja.
Sebelum pendapat itu kita terima, kita uji kelogisannya, apakah penalaran itu
tepat atau tidak? Dari aspek inilah manfaat mempelajari logika akan kita
rasakan. Secara spesifik Karomani (2009) memberikan penjelasan manfaat belajar
logika secara singkat, yaitu: Pertama, melatih jiwa manusia agar dapat
memperhalus jalan pikirannya. Kedua, mendidik kekuatan akan pikiran
dan mengembangkannya dengan sebaik-baiknya, dengan melatih dan membiasakan
mengadakan penyelidikan tentang cara berpikir itu sendiri. Dengan membiasakan
latihan berpikir, manusia akan mudah dan cepat mengetahui di mana letak
kesalahan yang menggelincirkannya. Dengan demikian, dia akan mampu berpikir
cermat, akurat, dan lurus.
Logika sudah sangat jelas
memiliki manfaat bagi kehidupan manusia. Setiap orang, sejak masa lampau tentu
sudah memikirkan dunia ini dengan logika. Ketika sekolah SD dahulu, pasti ada
pelajaran logika yang diselipkan pada aneka pelajaran seperti IPS, IPA,
matematika, dan bahasa. Ketika guru menjelaskan benda yang berat jenisnya lebih
berat dibandingkan air, maka akan tenggelam. Di sinilah permainan logika. Ketika
guru menjelaskan hitungan dengan model gunung susunan dan para gapit, itulah
logika matematika yang ditanamkan. Banyak sekali ilmu yang dikuasai manusia
harus diterima dan diraih dengan logika.
Aristoteles dan para
pengikutnya memandang logika tidak dikategorikan sebagai satu ilmu di antara
ilmu-ilmu lain. Menurut Aristoteles, "logika" yaitu persiapan yang
mendahului ilmu. Atau dapat dikatakan bahwa "logika" yaitu alat (organo) untuk mempraktikkan ilmu
pengetahuan. Orang pertama yang menggunakan istilah logika ialah Cicero
(abad pertama SM),
tetapi masih pengertian "seni berdebat." Di kemudian hari, yaitu pada
permulaan abad ke-3 Masehi, Alexander Aphrodisias
menggunakan istilah "logika" dengan arti yang dikenal sekarang.
Sampai berabad-abad lamanya pembicaraan mengenai logika tidak mengalami
perkembangan, tetapi masih tetap sama seperti pada waktu Aristoteles. Immanuel
Kant (Abad XVIII) mengatakan logika tidak mengalami perkembangan. Akan tetapi
pada pertengahan abad XIX logika mengalami perkembangan karena acla usaha dari
beberapa tokoh yang mencoba menerapkan matematika ke dalam logika. Gejala ini
dikenal sebagai saat munculnya logika modern. Sejak saat itu logika dibedakan
menjadi logika tradisional/klasik dan logika modern yang lazim dikenal sebagai
logika matematika/simbolis.
Logika
tradisional/klasik yaitu sistem ciptaan Aristoteles yang berfungsi untuk
menganalisis bahasa. Adapun logika modern berusaha menerapkan prinsip
matematika terhadap logika tradisional dengan menggunakan lambang nonbahasa.
Dengan demikian, kebudayaan berkaitan erat satu sama lain. Oleh karena itu,
memahami kedua macam logika dengan baik merupakan bantuan yang sangat besar
dalam berpikir yang teratur, tepat, dan teliti. Logika modern dirintis oleh
orang Inggris, antara lain: ADe Morgan (1806-1871), George
Boole (1815-1864),
dan mencapai puncaknya dengan karya besar A.N.
Whitehead dan
Bertrand Rus- sel Principle Mathematica. Para perintis logika ilmu
pengetahuan ini jelas sudah memikirkan lebih lanjut manfaatnya.
Suwardi Endraswara
(2012) mengatakan logika apa pun, secara historis tentu ada makna dan
manfaatnya bagi manusia. Secara singkat manfaat logika dalam ilmu pengetahuan
dapat dikategorikan sebagai berikut :
1.
Logika
menyatakan, menjelaskan, dan menggunakan prinsip abstrak yang dapat dipakai
dalam semua lapangan ilmu pengetahuan (bahkan seluruh lapangan kehidupan).
2.
Logika
menambah daya berpikir, abstrak dan demikian melatih dan mengembangkan daya
pemikiran dan menimbulkan disiplin intelektual.
3.
Logika
mencegah kita tersedat oleh segala sesuatu kita peroleh berdasarkan otoritas,
emosi, dan prasangka.
4.
Logika
di masa sekarang dikenal "era ofreason" membantu kita untuk mampu
berpikir sendiri dan tahu membedakan yang benar dari yang palsu.
5.
Logika
membantu orang untuk dapat berpikir lurus, tepat, dan teratur, karena dengan
berpikir demikian ia dapat memperoleh kebenaran dan menghindari kesesatan.
Dari manfaat logika
yang bermacam-macam itu, menandai bahwa proses berpikir itu penting. Berpikir
yang logis juga menandai tingkat berpikir seseorang. Untuk menjadi pemimpin
dalam ruang lingkup apa pun, tanpa logika jelas kurang sukses. Untuk memberikan
ceramah pada suatu komunitas, logika cukup berperan untuk memengaruhi orang.
Orang yang belajar dengan bahasa terapan, pasti butuh logika untuk memahami
yang dipikirkan orang lain. Belum lagi jika bahasa terapan ini digunakan oleh
orang-orang yang lemah ingatan, cacat tubuh (tunarungu), tentu membutuhkan
permainan logika.
Jika begitu, maka
hampir semua hal membutuhkan logika berpikir. Dengan bekal logika, ilmu
pengetahuan dapat berkembang sampai bercabang-cabang. Katakan saja di UI, ada
beberapa cabang keilmuan yang dipelajari. Seluruh ilmu yang dipelajari mengacu
pada permainan logika. Ilmu budaya memiliki logika yang sedikit berbeda dengan
ilmu eksak. Otak manusia dapat mewadahi logika apa saja. Namun permainan logika
manusia kadang-kadang sudah dibantu dengan alat. Teknologi sebagai dasar
permainan logika dan ilmu pengetahuan, maka akan terus berkembang membantu
kesejahteraan manusia.
Kita harus bisa
membedakan antara pengetahuan dan ilmu pengetahuan. Menurut Jujun S.
Suriasumantri (2010), pengetahuan pada hakikatnya, yaitu segenap apa yang kita
ketahui tentang suatu objek tertentu, termasuk di dalamnya adalah ilmu. jadi,
ilmu merupakan bagian dari pengetahuan yang diketahui oleh manusia di samping
berbagai pengetahuan seperti seni (estetika) dan agama.
Penjelasan di atas
memberikan pemahaman bahwa pengetahuan itu lebih luas cakupannya ketimbang ilmu
pengetahuan. Ilmu pengetahuan atau science bagian dari pengetahuan manusia.
Selanjutnya dikatakan Jujun, ilmu pengetahuan yaitu pengetahuan yang dihasilkan
melalui prosedur yang sistematis yang disebut dengan metode ilmiah. Alur berpikir
yang tercakup dalam metode ilmiah dapat dijabarkan dalam beberapa langkah yang
mencerminkan tahap-tahap dalam kegiatan ilmiah. Kerangka ilmiah bertumpu pada
logico hipotético
verifikasi yang dalam penelitian bersifat positivistik yang umumnya berupa
penelitian kuantitatif. Adapun untuk penelitian kualitatif hanya menggunakan
unsur logico dan verifikasi, hal ini
dikarenakan dalam penelitian kualitatif umumnya tidak melakukan uji hipotesis.
Langkah-langkah menuju ilmu pengetahuan menurut metode ilmiah berbasis
penelitian kuantitatif sebagai berikut:
1.
Perumusan
masalah.
2.
Penyusunan
teori dan kerangka berpikir (logico).
3.
Perumusan
hipotesis.
4.
Pengujian
hipotesis dan verifikasi (hipotético dan verifikasi).
5.
Penarikan
kesimpulan.
Itulah tahapan atau
langkah-langkah metode ilmiah yang mendasari lahirnya ilmu pengetahuan. Ilmu
pengetahuan memiliki prosedur dan metode yang ketat dibandingkan jenis
pengetahuan manusia lainnya setelah pengetahuan filsafat. Filsafat hanya
berdasarkan telaah mendalam (radie) yang dilakukan melalui suatu
dialektika logis dan sistematis yang bertolak dari sikap skeptis filsuf,
kemudian menarik suatu kesimpulan spekulatif ilmu pengetahuan. Jadi, telaah
kefilsafatan tidaklah melakukan verifikasi empiris seperti proses metode
ilmiah dalam menuju ilmu pengetahuan. Namun demikian, filsafat tetap saja pada
akhirnya menghasilkan ilmu pengetahuan baik fisika maupun metafisika. lustra
di sinilah keunggulan telaah kefilsafatan, dia dapat menembus wilayah metafisika,
sementara kajian ilmu hanya mampu menembus wilayah fisika.
Ada empat jenis
pengetahuan manusia, sebagaimana dikemukakan Anshari (1987) yang dikutip
Karomani (2009) sebagai berikut. Pertama, pengetahuan biasa, yaitu
pengetahuan tentang hal-hal yang biasa, yang sehari-hari yang selanjutnya
disebut pengetahuan. Kedua, pengetahuan ilmiah, yaitu
pengetahuan yang mempunyai sistem dan metode tertentu yang selanjutnya disebut
ilmu pengetahuan. Ketiga, pengetahuan filosofis, yaitu
semacam ilmu yang istimewa yang mencoba menjawab masalah yang tidak terjawab
oleh ilmu biasa yang selanjutnya disebut filsafat.
Keempat,
pengetahuan teologis, yaitu pengetahuan keagamaan, pengetahuan tentang
pemberitahuan berupa (wahyu) dari Tuhan.
Sesungguhnya ilmu pengetahuan
dibangun dari tahapan alam nyata, berlanjut pada fenomena, konsep, tema,
variabel, proposisi, fakta, dan kemudian pada akhirnya menjadi suatu teori.
Alam nyata yaitu realitas dari alam semesta. Fenomena yaitu kejadian atau
gejala yang ditangkap oleh indra manusia, dan kemudian fenomena ini dijadikan
masalah karena beium diketahui apa, mengapa, bagaimana adanya. Konsep yaitu
istilah atau simbol yang mengandung pengertian singkat dari fenomena itu
sendiri. Variabel adalah variasi konsep atau sifat, jumlah atau besaran yang
mempunyai nilai (angka) kategori (bertingkat), baik secara kualitatif maupun
kuantitatif sebagai hasil penelaahan dari konsep. Proposisi yaitu kalimat
ungkapan yang terdiri dari dua variabel atau lebih yang menyatakan hubungan
sebab akibat. Fakta yaitu proposisi yang telah teruji kebenarannya secara
empiris. Teori yaitu jalinan fakta menurut kerangka yang bermakna. Teori
merupakan gabungan dari beragam asumsi, konsep, konstruk, definisi, dan
proposisi yang dibangun sebagai pengembangan variabel.
Selanjutnya,
dimanakah posisi logika induktif dan deduktif dalam suatu proses penelitian?
Karomi (2009) mengemukakan, dalam tahapan metode ilmiah terkandung penalaran
logika induktif dan deduktif. Berpikir dengan logika induktif bertujuan untuk
menarik kesimpulan umum, berupa deskripsi general dari suatu fenomena.
Deskripsi umum suatu fenomena ini mengandung persamaan dari yang berbeda dan
berbeda dari yang sama. Hal ini diragukan bisa dalam bentuk golongan, ketegori,
klasifikasi berdasarkan unsur, ciri,, dan sifat dari unit fenomena (wujud,
proses, atau fungsi), yang kelak diberi nama atau istilah definisi yang kemudian
sampai pada konsep dan variabel. Pengetahuan khusus yang ada pada logika
induktif (diperoleh dengan observasi eksploratif) itu berupa deskripsi suatu
fenomena (oleh jadi satu unit wujud, proses, atau fungsi) pada sejumlah situasi
atau kondisi tertentu.
Pemahaman atas
penjelasan itu dapat dikatakan bahwa ketika seorang peneliti menetapkan
rumusan masalah dan mengidentifikasi masalah, maka ia melihat kesenjangan
antara kenyataan dan harapan (kesenjangan antara kondisi ideal dan kondisi
faktual). Kemudian dia mendesain rumusan masalah untuk pegangan dan panduan
penelitian, baik khusus maupun umum dengan menganalisis unsur, ciri, sifat,
proses, dan fungsi golongan, kategori, dan klasifikasi dari fenomena yang ada.
Pada tahapan ini ia berpikir menggunakan logika induktif. Lalu ketika
membangun teori, konstruk, indikator, kerangka berpikir, dan merumuskan
hipotesis, maka saat ini peneliti menggunakan logika deduktif. Kemudian
hipotesis ini diuji dan diverifikasi oleh penelitian secara empiris dengan
mengumpulkan dan mengolah data dan fakta yang kemudian melahirkan teori. Pada
tahap pengujian hipotesis dan perumusan teori baru hasil penelitian ini, maka
logika induktiflah yang digunakan peneliti.
Menurut Soekadijo dan
Ihromi, yang dikutip Karomani (2009) mengatakan kesesatan berpikir dapat
terjadi karena pelanggaran terhadap hukum logika, dia dapat terjadi karena
kecerobohan dalam penalaran yang berakibat munculnya ambiguitas atau ambivalensi
dalam bahasa yang digunakan utamanya dalam merumuskan suatu argumentasi.
Menurut Karomani (2009) dan Darsono Prawironegoro (2011), ada lima kesesatan
dalam penalaran ilmu pengetahuan yakni kesesatan formal, kesesatan informal,
kesesatan relevansi, kesesatan paralogis, dan kesesatan sofisme.
Kesesatan formal disebabkan
kesesatan karena bahasa. Kesesatan formal yaitu penalaran bahasa atau
penyimpulan yang bentuk premisnya tidak tepat. Contohnya:
1.
Kesesatan
karena
four term
(empat artian).
2.
Kesesatan
karena term tengah tidak terdistribusikan.
3.
Kesesatan
karena premis yang mengiyakan dan kesimpulan yang mengingkari.
4.
Kesesatan
karena premis negatif dan kesimpulan yang mengiyakan.
5.
Kesesatan
karena dua premis yang mengingkari.
Selanjutnya,
kesesatan informal yaitu kesesatan yang di luar kese- satan formal, terutama
kesesatan logika sebagaimana dikemukakan Soe- kadijo (1988) yang dikutip
Karomani, di antara kesesatan informal yaitu kesesatan dari segi bahasa, yaitu
ketidaksamaan memberikan arti kata atau kalimat. Ini dapat terjadi sebagai
produk dari kebudayaan, di mana dalam ruang dan waktu yang berbeda, kata dan
kalimat mempunyai arti yang berbeda. Untuk menghilangkan kesesatan bahasa ini,
manusia men- ciptakan berbagai lambang, seperti: +, -,:, dan x. Contoh kesesatan
formal sebagai berikut:
1.
Kesesatan
karena aksen atau tekanan kata yang berbeda.
2.
Kesesatan
yang disebabkan term ekuivok atau arti kata yang berbeda.
3.
Kesesatan
yang disebabkan oleh arti kata kiasan yang berbeda.
4.
Kesesatan
yang diakibatkan amfiboli, yaitu konstruksi kalimat yang mempunyai arti
berbeda-beda.
Kesesatan berikutnya,
kesesatan relevansi yaitu suatu penalaran atau penyimpulan di mana tidak ada
hubungan logis antara premis dan kesimpulannya (conclusion), atau kesimpulannya tidak
relevan dengan premisnya. Contohnya sebagai berikut:
1.
Kesesatan argumentum ad hominem.
2.
Kesesatan argumentum ad veruamdiam.
3.
Kesesatan argumentum ad baculum.
4.
Kesesatan argumentum ad misericordiam.
5.
Kesesatan argumentum ad popolum.
6.
Kesesatan karena non causa pro causa.
7.
Kesesatan
karena aksidensi.
8.
Kesesatan
yang disebabkan oleh komposisi dan devisi.
9.
Kesesatan karena petition principli.
10. Kesesatan karena ignoration elenchi.
11. Kesesatan yang disebabkan
pertanyaan kompleks.
12. Kesesatan karena argumentum ad ignoratiam.
13. Kesesatan
tu squitur.
14. Kesesatan
tu quogue.
Berikutnya kesesatan
paralogis,yaitu suatu kesesatan penalaran atau penyimpulan yang sesat di mana
orang yang membuatnya tidak mengetahuinya bahwa apa yang disimpulkan itu
sesat. Boleh jadi ini disebabkan karena tidak pahamnya bahasa, tidak pahamnya
konteks, dan tidak pahamnya situasi sosial budaya, kemudian menarik suatu
kesimpulan yang pada akhirnya salah.
Terakhir kesesatan
sofisme, yaitu kesesatan dalam penalaran atau penyimpulan yang sesat di mana
orang yang membuatnya dengan sengaja membuatnya. Kesesatan dalam hal ini,
yaitu kesesatan yang disengaja dilakukan oleh peneliti, tentu untuk kepentingan
dan maksud tertentu.
Filsafat Timur selalu
dipandangkan dengan filsafat Barat. Secara geografis atau tipologi, filsafat
Timur yaitu filsafat berpikir yang pada umumnya berlaku atau dihidupi oleh
orang-orang dari belahan Timur dunia ini, bagaimana mereka melihat dan memahami
realitas di sekitarnya. Adapun filsafat Barat pada umumnya berlaku dan
dihidupi oleh orang-orang yang hidup di belahan dunia Barat, termasuk Eropa
daratan, Asia Barat, dunia Anglo-Saxon (Inggris,
Irlandia, Skotlandia, USA., dan Kanada), dan Amerika pada
umumnya. Dalam filsafat ini kita melihat pembagian realitas hidup mereka.
Kalau kita meneropong
atau pola berpikir dan pola tingkah laku orang-orang di belahan dunia Timur,
maka kita juga akan menemukan pembagian macam filsafat karena dunia Timur
sendiri terdiri dari sekian banyak bangsa, negara, kelompok etnis, agama, pandangan
hidup, kebudayaan, dan peradaban yang berbeda. Karena perbedaan dalam budaya
dan peradaban ini, kita juga akan menemukan perbedaan dalam pembagian sistem,
nilai, ciri, dan karakter, bahasa, kebiasaan dan tingkah laku. Ini jelas
diperhatikan dalam variasi cara-pandang dan cara berpikir, penampilan, dan
sikap hidup serta motivasi hidup manusia dari pembagian suku cadang dan
bangsa. Demikan pula agama dan aliran kepercayaan yang berbeda.
Perbedaan paradigma
logika Barat dan Timur dapat dilihat dari empat karakter utama, yaitu:
Pertama,
negara belahan
dunia Timur terdiri dari banyaknya negara yang memiliki jumlah penduduk yang
sangat besar sejalan dengan angka kelahiran yang masih tinggi di banyak negara,
banyak penduduk masih diklasifikasikan sebagai kaum miskin dan masih hidup di
bawah standar manusiawi. Sejalan dengan kepadatan penduduk dan kemiskinan, kita
masih dapat menemukan pembagian gejala lemah lainnya sebagai turunan dari ciri
pokok di atas. Belahan dunia Barat sebaliknya ditandai kemajuan dan teknologi,
rekayasa, dan kuasa.
Kedua, berbeda dengan manusia Barat
yang lebih aktif, manusia Timur lebih bersifat pasif. Ini dapat dicerca dalam
ajaran pokok, misalkan penghormatan terhadap kosmos, alam semesta,
konfusianisme, Taoisme, Budhisme, dan lain-lain.
Ketiga, di dunia Timur penekanan utama
lebih diberikan kepada intuisi dan perasaan (mempertemukan akal budi dengan
intuisi, inteligensia, dan perasaan), juga penekanan pada hidup batiniah,
spiritulal, dan mistis. Atas dasar ini tujuan belajar bagi orang Timur yaitu
lebih untuk mencapai kebijaksanaan dan kebijakan hidup (harmoni dengan kosmos)
daripada penyebaran pengetahuan dan informasi sebagaimana di dunia Barat.
Penekanan hanya pada akal budi di dunia Barat menjadi dasar penguasaan manusia
atas aiam dunia meiaiui iimu pengetahuan dan teknologi, kapitalisme, penemuan
dunia baru dan imperiaslisme. Di dunia Barat, pengetahuan dan informasi sangat
mendapat perhatian dan penyebarannya pun mendapat tempat utama.
Keempat, dunia Barat, alam dunia dilihat
sebagai objek dan lapangan kerja. Menusia harus menguasainya demi kepentingan
sendiri. Di dunia Timur, manusia dilihat sebagai bagian utuh dari alam. Oleh
karena itu, penekanan lebih diberikan kepada etika harmoni dalam hidup setiap
orang. Dengan kata lain, kalau Dunia Barat orang lebih berpegang pada prinsip
"berbuat lebih penting daripada sekadar hadir dan ada"
(to do is more important that to be), di dunia Timur orang lebih mengutamakan "ada
dan kehadiran daripada apa yang orang perbuat" (to
be is more important that to do).
Karena itu orang Timur lebih suka adanya pertentangan, konflik, dan kompetisi,
tidak biasa dalam konflik frontal dengan orang lain dan pembagian sikap dan
kesulitan atau keberuntungan psikologis lain yang berakar dari sini.
Dilihat dari sudut
makna perbedaan Barat dan Timur, sebagai manusia makhluk berpikir dan memiliki
logika, semuanya sama. Semua manusia memiliki harkat dan martabat yang sama.
Semua manusia memiliki harkat dan martabat, harga diri yang sama. Namun
perbedaannya kita terletak pada pola pikir dan pola pandang kita terhadap
dunia yang menurunkan pembagian macam perbedaan lain, baik secara transparan
yang dapat dilihat dan dibaca maupun secara tersembunyi dan tidak kelihatan.
Untuk dapat
memperoleh gambaran yang jelas tentang filsafat Timur, maka dapat dilihat
berdasarkan pemetaan mengenai pembagian soal yang dibahas dalam wilayah
filsafat Timur. Dalam bahasa ini kita akan lebih memusatkan perhatian pada
kebudayaan besar yang diambil sebagai pusat peradaban dunia, seperti Tiongkok,
India, Jepang. Peradaban Tiongkok dan China melahirkan paham Budhisme yang
sudah agak lebih berkembang karena pertemuannya dengan peradaban dan kebudayaan
setempat.
Peradaban ini juga telah
menurunkan aliran filsafat utama, seperti konfusianisme dan Taoisme. Kebudayaan
dan peradaban India melahirkan Hinduisme dan Budhisme pada tahap perdana. Dari
peradaban seperti ini lahirlah banyak penemuan dalam dunia ilmu pengetahuan,
dan para pemikir serta para pertapa besar. Kebudayaan dan peradaban Jepang
menampilkan Shintoisme dan Zen Budhisme, serta kepercayaan lain dalam
persentuhan antara kebudayaan asli dan perkembangan Budhisme.
Secara khusus kita
juga akan melihat filsafat Nusantara yang membentang dari ujung barat sampai
unjung timur kepulauan Nusantara ini. Kita melihat bagaimana orang-orang
Indonesia dengan variasi kebudayaan dan peradabannya memandang dan memahami
realitas hidupnya, bagaimana mereka hidup dan memandang kosmos, diri, dan
sesama manusia serta Tuhan. Bagaimanan pola sikap dan tingkah laku serta cara
berpikir tentu dibentuk berdasarkan pandangan mereka tentang realitas hidup
mereka.
Menurut Josep
Morgalis (2012), keraguan dan kepastian bukan merupakan hal-hal yang hanya
dalam psikologis melainkan hal-hal yang logis dan konseptual. Kita
bertanya-tanya bukan hanya apakah keadaan mental tertentu dapat dihindari atau
diteruskan, melainkan juga apakah kepercayaan kognitif kita dapat dibenarkan
dan secara relevan dibebaskan dari tantangan. Permasalahannya, memengaruhi
secara mendalam semua usaha manusia untuk pengetahuan; dan oleh karenanya
menarik kita pada kompleksitas yang luar biasa dari hubungan antara keraguan
dan kepastian di suatu sisi, di sisi lain pengetahuan dengan kepercayaan.
Manusia selalu
bertanya-tanya apakah mereka pernah berhak dapat melepaskan diri dari keraguan
atau mencapai kepastian tentang kepercayaan mereka. Josef memberikan
pandangan, ada tiga keraguan dalam filsafat yang pada akhirnya dapat memberikan
kepastian, yakni: Pertama, keraguan psikologis dengan
kepastian psikologi. Keraguan ini merupakan keadaan mental yang berbeda,
paling tidak yang secara nominal relevan terhadap suatu proposisi yang berlaku
dalam pengertian bahwa jika p merupakan suatu proposisi yang
berlaku, maka seseorang jelas ada dalam keadaan ketidakpastian bahwa
p yaitu
benar, atau dalam suatu keadaan kepercayaan yang berbeda di antara kedua
ekstrem tersebut.
Kedua, keraguan logis dengan kepastian
logis. Secara kontras merupakan apa yang disebut keadaan logis atau
fungsional, dalam pengertian di mana keadaan itu tidak perlu secara psikologis
diwujudkan menjadi yang relevan secara kognitif terhadap kepercayaan bahwa
p benar.
Mengasumsikan bahwa kita mempunyai teori komprehensif dari peristiwa dan
dasar-dasar yang memberikan untuk memercayai suatu proposisi, kita seharusnya
menemukan provisi dalam teori itu untuk membenarkan keraguan dan kepastian
yang berhubungan dengan kepercayaan. Jika p benar dan diketahui benar, maka
secara umum, keraguan yang tergantung pada kebenaran dan pengetahuan akan
p harus
segera relevan maupun, akan diangkat atau dihentikan.
Oleh karenanya,
karaguan logis dan kepastian logis mungkin merupakan keadaan pikiran bahwa
dengan jangkauan teori kita akan pengetahuan, secara reievan tergantung pada
kebenaran suatu proposisi atau keberdirian suatu perantara yang dinyatakan
benar tanpa bukti mengetahui atau jelas memercayai proposisi itu. Oleh karena
itu, dengan jelas keraguan psikologis secara kognitif relevan jika dan hanya
jika keraguan itu merupakan ungkapan dari keadaan dari keraguan logis.
(Penyesuaian diperlukan, sebagai yang akan kita lihat, untuk kepastian.)
Ketiga, keraguan empiris dengan
kepastian empiris. Paham ini memaknakan bahwa kebenaran dari suatu proposisi
aritmetik, misalnya 8 + 7 = 15 yang kita kira pasti benar. Juga tidak untuk
mengatakan bahwa teori kognitif hanya berhubungan dengan menghilangkan keraguan
empiris atau mencapai kepastian empiris. Karena sepenuhnya mungkin bahwa
keraguan logis bisa diformulasikan bahwa tidak ada manusia perantara yang
sesungguhnya merupakan ungkapan darinya seperti keraguan empiris, atau
sesungguhnya merupakan ungkapan darinya dalam suatu interval waktu yang ada.
Akan tetapi, untuk
kembali pada pembedaan keadaan empiris dari keraguan dan kepastian, kita harus
mengakui suatu ketidaksimetrisan berkenaan dengan jangkauan konsep pokok dari
keraguan dan kepastian. Didasarkan pada kenyataan itu, terpaksa mengharuskan
kita mengadopsi keraguan itu sebagai suatu perantara rasional menuju kepastian.
mantap
BalasHapusMAKASIH BANYAK SHARING ILMUNYA, BISA MEMBANTU TUGAS SAYA
BalasHapusterimakasih atas ilmunya .. tentang logika dan penalaran dan kaitannya denga filsafat dan ilmu pengetahuan.. sangat bermanfaat, bisa disebutkan referensinya pak?
BalasHapusMaaf mau bertanya diatas dibagian logika dan kesesatan ilmu pengetahuan
BalasHapusKan ada formal dan informal, itu ada 5 contoh yg formal,trus yg dibagian informal itu contoh formal apa informal yah? ditullisannya formal seharusnya informal?