Rabu, 13 Mei 2015

PSIKOLOGI OLAHRAGA (RESUME)

semester 1

BAB I
PSIKOLOGI OLAHRAGA DAN LATIHAN SERTA SEJARAHNYA

Weinberg dan gould, (1995) mengemukakan bahwa psikologi olahraga dan psikologi pendidikan memiliki dua tujuan dasar :
Ø Mempelajari bagaimana faktor psikologi mempengaruhi penampilan atau kinerja (performance) fisik individu.
Ø Memahami bagaimana partisipasi olahraga dan latihan mempengaruhi perkembangan individu termasuk kesehatan dan kesejahteraan hidupnya.
Psikologi olahraga dan psikologi latihan jelas berbeda, namun dalam prakteknya biasanya memang terjadi saling mengisi, dan kaitan keduanya demikian eratnya sehingga sulit untuk dipisahkan. Tetapi Seraganian (1993) serta willis dan Campbell (1992) secara lebih tegas mengemukakan bahwa secara tradisional penelitian dan praktik psikologi olahraga diarahkan pada hubungan psikofisiologis misalnya responsi somatik mempengaruhi kognisi, emosi dan performance. Sedangkan psikologi latihan diarahkan pada aspek kognitif, situasional dan psikofisiologis yang mempengaruhi perilaku pelakunya, bukan mengkaji penampilan (performance)  olahraga seorang atlet.
Psikologi olahraga di indonesia merupakan cabang psikologi yang amat baru, sekalipun pada prakteknya kegiatan para psikolog di dalam berbagai cabang olahraga  di indonesia telah berlangsung beberapa tahun lamanya. Secara resmi Ikatan Psikologi Olahraga (IPO) di Indonesia yang berada di bawah naungan Himpunan Psikologi Indonesia (Himpsi) baru dibentuk pada tanggal 3 Maret 1999, dan baru ditandatangani secara resmi pada tanggal 24 juli 1999, dan diketuai oleh Montly P. Satiadarma.
Akan tetapi, Psikolog Singgih D. Gunarsa (d/h Go Ge Siong) bersama dengan psikolog Sudirgo Wibowo (d/h Ng Tjong Ping) telah memelopori kegiatan psikologi di dalam cabang olahraga bulutangkis sejak tahun 1967, dan sejak saat itu banyak atlet bulu tangkis nasional yang memanfaatkan jasa psikolog dan ilmu psikologi dalam mencapai puncak prestasi mereka baik secara nasional maupun internasional.

BAB II
KEPRIBADIAN ATLET
Berbagai penelitian telah diupayakan serta dikembangkan untuk memperolah jawaban atas pertanyaan misalnya faktor pribadi apa yang membuat seorang atlet dapat memperoleh sukses dalam menjalani karirnya sebagai atlet.  Sejauh ini para psikolog memandang aspek kepribadian dari sejumlah sudut pandang yang secara garis besar terdiri atas 3 (tiga) pendekatan: 1) Pendekatan “trait”, 2) pendekatan situasional, 3) pendekatan interaksional (Weinberg & Gould, 1995)
Adapun hambatan perolehan data standar baku untuk menentukan aspek kepribadian yang menjamin sukses seorang atlet besar kemungkinan disebabkan oleh berbagai faktor seperti; 1. Adanya perbedaan spesifikasi bidang olahraga berkaitan erat dengan perbedaan spesifikasi kepribadian atlet yang menggeluti bidang olahraga tersebut, 2. Pemilihan atau pengambilan sampel penelitian mempengaruhi standarisasi yang diperoleh, 3. Aspek kepribadian adalah sangat individual sifatnya, sementara itu ada berbagai jenis olahraga beregu yang memiliki karakteristik sangat bervariasi, 4. Masih terbatasnya literatur yang menguraikan perbandingan antara kepribadian atlet dan bukan atlet dan antara atlet cabang olahraga tertentu dengan lainnya.
Ada 3 macam pengukuran yang dapat digunakan untuk mengukur kepribadian yaitu: 1. Pengukuran “trait” dan “state”, 2. Pengukuran berdasarkan situasi khusus, 3. Pengukuran khusus dalam situasi olahraga.
Ada juga disposisi psikologis yang dapat mempengaruhi kepribadian atlet yaitu: 1. Atlet bintang berani mengambil resiko, 2. Atlet bintang cenderung mencari tantangan, 3. Atlet bintang lebih mengutamakan keinginan berkompetisi dan tampil secara baik daripada sekedar menang atau memperoleh penghargaan atas kemenangannya, 4. Atlet bintang memiliki rasa percaya diri lebih besar daripada atlet bukan bintang atau atlet normal lainnya, 5. Atlet bintang memiliki kemampuan yang lebih baik untuk memusatkan perhatian, 6. Atlet bintang, karena kematangan persiapan mereka, lebih memiliki harapan untuk berhasil, 7. Atlet bintang tidak hanya mampu mengatasi tekana atau stres

BAB III
ATRIBUSI
Atribut (attribute) adalah 1. Kualitas dasar stimulus yang dipersepsi seseorang, 2. Karakteristik sesuatu yang membedakannya dengan yang lain, dan 3. Kecenderungan khusus seseorang yang membedakannya dengan orang lain (reber, 1995). Weiner dan rekan-rekan (1971) mengemukakan bahwa kita cenderung mempersepsi sukses dan gagal ke dalam 4 kategori : 1. Kemampuan (ability), 2. Derajat kesulitan tugas (task difficulty), 3. Usaha (effort) dan keberuntungan (lucky).
Adapun hasil penelitian hubungan atribusi dengan perasaan yang dialami oleh atlet yang dilakukan oleh McAuley dan Duncan (1989) berdasarkan pandangan Weiner (1985) bahwa : 1. Jika sukses diatribusikan ke wilayah internal, altet merasa bangga, 2. Jika sukses diatribusikan ke wilayah eksternal, altet merasa bersyukur, 3. Jika gagal diatribusikan ke wilayah internal, atlet merasa bersalah, 4. Jika gagal diatribusikan ke wilayah eksternal, atlet merasa marah.
Anshel (1979) mengemukakan sekurang-kurangnya satu dari keempat faktor berikut harus ada untuk mengubah atribusi: 1. Kondisi lingkungan, 2. Frekuensi pengalaman, 3. Arti tugas, 4. Sumber informasi.
Atlet unggulan memiliki kecenderungan untuk tidak merasakan bahwa dirinya memiliki kekurangan. Ia merasa bahwa kemampuan yan dimilikinya cukup, dan di dalam berbagai penampilannya ada kecenderungan untuk berupaya mempertahankan harga diri. Sedangkan atlet yang secara umum memiliki perasaan ketidakberdayaan memiliki karakteristik sebagai berikut: 1. Mengundurkan diri dalam menghadapi sesuatu yang baru, 2. Menempatkan atribut gagal pada rendahnya kemampuan, 2. Mempersepsi diri mereka sebagai individu yang gagal terus-menerus, 4. Tidak merasakan bahwa upaya yang lebih besar akan memberikan hasil yang lebih baik, 5. Kalaupun berhasil, mereka menganggapnya karena ada faktor keberuntungan atau karena derajat kesulitan tugas yang cenderung rendah, 6. Tidak merasa nyaman untuk belajar menghadapi situasi baru, karena tidak ingin menempuh resiko kegagalan.

BAB IV
MOTIVASI
Aspek motivasi adalah aspek yang paling banyak disoroti dalam program pembinaan olahraga (Weilberg & Gould, (1995). Motivasi berasal dari bahasa latin yaitu “Movere” yang artinya bergerak. Sejumlah pakar (Anshel, 1997; Duda, 1993; Weinberg & Gould, 1995) mengemukakan adanya beberapa sumber motivasi yaitu : 1. Orientasi pelaku (trait centered/ participant centered orientation, 2. Orientasi Situasional/ Lingkungan (situation centered orientation), 3. Orientasi interaksional (interactional orientation).
Motivasi penting diberikan sebelum kompetisi (nasehat pro kompetisi). Tugas dari seorang pelatih untuk berusaha keras memberikan nasehat pada atlet menjelang pertandingan dalam rangka mempersiapkan atlet secara lebih baik. Pelatih juga dapat memberikan motivasi dan meningkatkan percaya diri dengan cara menunjukkan bahwa dirinya jauh lebih tangguh dari pada lawan. Namun, pelatih tidak disarankan memberikan motivasi dengan cara menekankan kepada atlet bahwa dia harus dan mutlak untuk menang.
Hoehn (1983) serta Fuoss dan Troppmann (1981) mengemukakan berbagai hal yang perlu dimiliki seorang pelatih dalam membina hubungan dengan atletnya adalah : 1. Mampu berkomunikasi secara efektif, 2. Memiliki kemahiran mengajar dan melatih, 3. Mampu membangkitkan gairah semangat atlet dan memberikan pujian kepada atlet, 4. Lebih menekankan keunggulan individu daripada kelemahan yang dimilikinya, 5. Terorganisir dan berperilaku terkendali.
Selain itu, berbagai tehnik juga dapat dipakai untuk memotivasi atlet mencapai prestasi maksimalnya (Anshel, 1997) yaitu : 1. Saling mengenal di antara sesama anggota tim, 2. Terencana, 3. Berorientasi ke masa depan, 4. Mengembangkan keterampilan, 5. Memberikan penghargaan, 6. Menanamkan disiplin secara tegas bukan keras, 7. Mencari kesamaan pandangan.



BAB V
KECEMASAN, GUGAHAN & STRES
Di dalam dunia olahraga, kecemasan (anxiety), gugahan (arousal) dan stres (stress) merupakan aspek yang memiliki kaitan yang sangat erat satu sama lain sehingga sulit untuk dipisahkan. Spielberg (1972) membedakan kecemasan bawaan (trait anxiety) dari kecemasan sesaat (state anxiety). Kecemasan bawaan adalah faktor kepribadian yang mempengaruhi seseorang untuk mempersepsi suatu keadaan sebagai situasi yang mengancam. Sedangkan kecemasan sesaat berfluktuasi, berubah-ubah dari suatu waktu ke waktu yang lainnya.
Gugahan seringkali disetarakan dengan dorongan, aktivasi, kesiapan, atau eksitasi. Gugahan mutlak dibutuhkan oleh atlet dalam menampilkan kinerja olahraganya. Gugahan dan kecemasan memiliki hubungan yang erat karena kecemasan menimbulkan gugahan fisik maupun psikologis. Sejumlah pakar menjelaskan kondisi tersebut kedalam sejumlah teori yaitu : 1. Teori dorongan (drive theory), 2. Teori U-terbalik (inverted U-Hypothesis), 3. Teori zona fungsi optimal (zones of optimal finction), 4. Teori kecemasan multi dimensional (multidimensional anxiety theory), 5. Teori bencana (catastrophe theory), 6. Teori pembalikan (reversal theory).
Stres merupakan kondisi yang umum dihadapi seseorang dalam menghadapi berbagai tantangan hidup. Beberapa gejala stres yaitu : 1. Tanda-tanda emosional (sikap apati, kecemasan, iritabilitas, kelelahan mental dan overkompensasi dan menyangkal), 2. Tanda-tanda perilaku ( menghindar, ekstrimitas, administatif dan melanggar hukum), 3. Tanda-tanda fisik (phobia, sering sakit, mudah lelah fisik, melakukan pengobatan sendiri dan menderita berbagai penyakit.
Adapun strategi menghadapi stres antara lain rekreasi, melakukan variasi latihan, kesempatan komunikasi, relaksasi, program konseling dan medikasi.



BAB VI
KEPEMIMPINAN
Weinber gan Gould (1995) mengutip Barrow (1977) mengemukakan bahwa kepemimpinan merupakan proses perilaku mempengaruhi sejumlah atau sekelompok orang untuk mencapai suatu sasaran tertentu. Umumnya seorang pimpina dalam olahraga terpilih atas dasar penunjukan atau penugasan dari pembina. Dapat disimpulkan bahwa di dalam konteks olahraga, seorang pemimpin dipilih berdasarkan: 1. Senioritas dalam usia, 2. Senioritas dalam pengalaman, 3. Keunggulan dan keterampilan tertentu.
Ada beberapa macam pendekatan yang memberi pandangan mengenai jenis seorang pemimpin: 1. Pendekatan trait, 2. Pendekatan behavioral, 3. Pendekatan interaksional, 4. Pendekatan multidimensional.
Ada 4 komponen pemimpin yang efektif: 1. Kualitas pemimpin efektif, 2. Gaya kepemimpinan, 3. Faktor situasional, 4. Karakteristik anggota.
Dalam olahraga, pemimpin tim atau regu harus mampu mengkomunikasikan langkah-langkah untuk mencapai sasaran yang hendak dicapai. Ia juga harus mampu memberikan instruksi serta tepat untuk dapat diterima dan diikuti oleh para atlet. Komunikasi merupakan salah satu kunci utama efektivitas kepemimpinan.
Pelatih di dalam pembinaan olahraga tidak hanya berfungsi sebagai orang yang memberikan latihan fisik serta keterampilan pada atlet, tetapi juga mendidik atletnya untuk mampu meraih prestasi secara optimal sesuai dengan potensi yang dimilikinya. Daly dan Parkin (1991) mengemukakan sejumlah hal mendasar yang perlu dimiliki oleh seorang pelatih dalam memimpin atletnya menapaki tangga prestasi: 1. Intelegensi, 2. Orientasi pada prestasi, 3. Berketetapan, 4. Kesabaran, 5. Antusias, 6. Pengetahuna, 7. Teliti, 8. Percaya diri, 9. Stabil, 10. Mampu mengambil keputusan, 11. Memiliki integritas tinggi, 12. Mampu mengorganisir, 13. Mampu menyusun persiapan, 14. Memiliki rasa humor, 15. Panutan


BAB VII
KOMUNIKASI
Komunikasi adalah aspek penting yang menjembatani hubungan antar manusia. Tanpa adanya komunikasi yang baik, hubungan manusia akan terhambat. Jadi, tanpa adanya komunikasi yang baik, hubungan pelatih dan  atlet tidak akan terselenggara dengan baik.
Anshel (1997) mengemukakan ada 10  aspek yang perlu dipertimbangkan dalam membina komunikasi, terutama berkenaan dengan upaya pelatih menyampaikan gagasan program latihan kepada atletnya: 1. Jujur, 2. Terbuka, 3. Konsisten, 4. Empatik, 5. Tidak sarkastik, 6. Puji dan kritik pelaku bukan pribadi, 7. Hargai integritas orang lain, 8. Gunakan isyarat positif, 9. Berikan latihan keterampilan, 10. Berinteraksi secara konsisten
Daily dan Parkin (1991) juga telah mengemukakan hahl-hal yang lebih kurang sama dengan ashel (1997) mengenai hal-hal yang perlu dipertimbangkan pelatih dalam berkomunikasi dengan atletnya: 1. Proses dua arah, 2. Sederhana, 3. Jelas, 3. Umpan balik, 4. Jelas, 5. Positif, 6. Dorongan semangat, 7. Empati, 8. Kritik, 9. Komentar, 10. Konsisten, 11. Kredibilitas, 12. Sensitif, 13. Menghindari sarkasme, 14. Rasa humor.
Sekalipun pengertian umum komunikasi banyak diinterpretasikan sebagai tehnik menyampaikan pesan agar dapat diterima dan dimengerti oleh penerima pesan, tetapi justru salah satu kunci utama komunikasi adalah mendengarkan secara aktif (active listening) (yukelson, 1993).
Egan (1982) serta ivey (1983) menjelaskan ada tujuh hal penting dalam meningkatkan hubungan komunikasi antara pelatih dengan atlet: 1. Bertanya (questioning), 2. Minta penjelasan (clarifying), 3. Memberi dorong semangat (encoraging), 4. Menyusun kalimat ulang (paraphasing), 5. Merefleksikan (reflecting), 6 memahami (undestanding), 7. Menyimpulkan (summarizing).




Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan memberikan komentar serta kritik dan saran yang membangun. Terima Kasih.

Popular Post