semester 1
BAB I
PSIKOLOGI OLAHRAGA DAN LATIHAN SERTA
SEJARAHNYA
Weinberg dan gould, (1995)
mengemukakan bahwa psikologi olahraga dan psikologi pendidikan memiliki dua
tujuan dasar :
Ø Mempelajari bagaimana faktor
psikologi mempengaruhi penampilan atau kinerja (performance) fisik individu.
Ø Memahami bagaimana partisipasi
olahraga dan latihan mempengaruhi perkembangan individu termasuk kesehatan dan
kesejahteraan hidupnya.
Psikologi olahraga dan psikologi
latihan jelas berbeda, namun dalam prakteknya biasanya memang terjadi saling
mengisi, dan kaitan keduanya demikian eratnya sehingga sulit untuk dipisahkan.
Tetapi Seraganian (1993) serta willis dan Campbell (1992) secara lebih tegas
mengemukakan bahwa secara tradisional penelitian dan praktik psikologi olahraga
diarahkan pada hubungan psikofisiologis misalnya responsi somatik mempengaruhi
kognisi, emosi dan performance. Sedangkan psikologi latihan diarahkan pada
aspek kognitif, situasional dan psikofisiologis yang mempengaruhi perilaku
pelakunya, bukan mengkaji penampilan (performance) olahraga seorang atlet.
Psikologi olahraga di indonesia
merupakan cabang psikologi yang amat baru, sekalipun pada prakteknya kegiatan
para psikolog di dalam berbagai cabang olahraga
di indonesia telah berlangsung beberapa tahun lamanya. Secara resmi
Ikatan Psikologi Olahraga (IPO) di Indonesia yang berada di bawah naungan
Himpunan Psikologi Indonesia (Himpsi) baru dibentuk pada tanggal 3 Maret 1999,
dan baru ditandatangani secara resmi pada tanggal 24 juli 1999, dan diketuai
oleh Montly P. Satiadarma.
Akan tetapi, Psikolog Singgih D.
Gunarsa (d/h Go Ge Siong) bersama dengan psikolog Sudirgo Wibowo (d/h Ng Tjong
Ping) telah memelopori kegiatan psikologi di dalam cabang olahraga bulutangkis
sejak tahun 1967, dan sejak saat itu banyak atlet bulu tangkis nasional yang
memanfaatkan jasa psikolog dan ilmu psikologi dalam mencapai puncak prestasi
mereka baik secara nasional maupun internasional.
BAB II
KEPRIBADIAN ATLET
Berbagai penelitian telah diupayakan
serta dikembangkan untuk memperolah jawaban atas pertanyaan misalnya faktor
pribadi apa yang membuat seorang atlet dapat memperoleh sukses dalam menjalani
karirnya sebagai atlet. Sejauh ini para
psikolog memandang aspek kepribadian dari sejumlah sudut pandang yang secara
garis besar terdiri atas 3 (tiga) pendekatan: 1) Pendekatan “trait”, 2)
pendekatan situasional, 3) pendekatan interaksional (Weinberg & Gould,
1995)
Adapun hambatan perolehan data
standar baku untuk menentukan aspek kepribadian yang menjamin sukses seorang
atlet besar kemungkinan disebabkan oleh berbagai faktor seperti; 1. Adanya
perbedaan spesifikasi bidang olahraga berkaitan erat dengan perbedaan
spesifikasi kepribadian atlet yang menggeluti bidang olahraga tersebut, 2.
Pemilihan atau pengambilan sampel penelitian mempengaruhi standarisasi yang
diperoleh, 3. Aspek kepribadian adalah sangat individual sifatnya, sementara
itu ada berbagai jenis olahraga beregu yang memiliki karakteristik sangat
bervariasi, 4. Masih terbatasnya literatur yang menguraikan perbandingan antara
kepribadian atlet dan bukan atlet dan antara atlet cabang olahraga tertentu
dengan lainnya.
Ada 3 macam pengukuran yang dapat
digunakan untuk mengukur kepribadian yaitu: 1. Pengukuran “trait” dan “state”,
2. Pengukuran berdasarkan situasi khusus, 3. Pengukuran khusus dalam situasi
olahraga.
Ada juga disposisi psikologis yang
dapat mempengaruhi kepribadian atlet yaitu: 1. Atlet bintang berani mengambil
resiko, 2. Atlet bintang cenderung mencari tantangan, 3. Atlet bintang lebih
mengutamakan keinginan berkompetisi dan tampil secara baik daripada sekedar
menang atau memperoleh penghargaan atas kemenangannya, 4. Atlet bintang
memiliki rasa percaya diri lebih besar daripada atlet bukan bintang atau atlet
normal lainnya, 5. Atlet bintang memiliki kemampuan yang lebih baik untuk
memusatkan perhatian, 6. Atlet bintang, karena kematangan persiapan mereka,
lebih memiliki harapan untuk berhasil, 7. Atlet bintang tidak hanya mampu
mengatasi tekana atau stres
BAB III
ATRIBUSI
Atribut (attribute) adalah 1.
Kualitas dasar stimulus yang dipersepsi seseorang, 2. Karakteristik sesuatu
yang membedakannya dengan yang lain, dan 3. Kecenderungan khusus seseorang yang
membedakannya dengan orang lain (reber, 1995). Weiner dan rekan-rekan (1971)
mengemukakan bahwa kita cenderung mempersepsi sukses dan gagal ke dalam 4
kategori : 1. Kemampuan (ability), 2. Derajat kesulitan tugas (task
difficulty), 3. Usaha (effort) dan keberuntungan (lucky).
Adapun hasil penelitian hubungan
atribusi dengan perasaan yang dialami oleh atlet yang dilakukan oleh McAuley
dan Duncan (1989) berdasarkan pandangan Weiner (1985) bahwa : 1. Jika sukses
diatribusikan ke wilayah internal, altet merasa bangga, 2. Jika sukses
diatribusikan ke wilayah eksternal, altet merasa bersyukur, 3. Jika gagal
diatribusikan ke wilayah internal, atlet merasa bersalah, 4. Jika gagal
diatribusikan ke wilayah eksternal, atlet merasa marah.
Anshel (1979) mengemukakan
sekurang-kurangnya satu dari keempat faktor berikut harus ada untuk mengubah
atribusi: 1. Kondisi lingkungan, 2. Frekuensi pengalaman, 3. Arti tugas, 4.
Sumber informasi.
Atlet unggulan memiliki kecenderungan
untuk tidak merasakan bahwa dirinya memiliki kekurangan. Ia merasa bahwa
kemampuan yan dimilikinya cukup, dan di dalam berbagai penampilannya ada
kecenderungan untuk berupaya mempertahankan harga diri. Sedangkan atlet yang
secara umum memiliki perasaan ketidakberdayaan memiliki karakteristik sebagai
berikut: 1. Mengundurkan diri dalam menghadapi sesuatu yang baru, 2.
Menempatkan atribut gagal pada rendahnya kemampuan, 2. Mempersepsi diri mereka
sebagai individu yang gagal terus-menerus, 4. Tidak merasakan bahwa upaya yang
lebih besar akan memberikan hasil yang lebih baik, 5. Kalaupun berhasil, mereka
menganggapnya karena ada faktor keberuntungan atau karena derajat kesulitan
tugas yang cenderung rendah, 6. Tidak merasa nyaman untuk belajar menghadapi
situasi baru, karena tidak ingin menempuh resiko kegagalan.
BAB IV
MOTIVASI
Aspek motivasi adalah aspek yang
paling banyak disoroti dalam program pembinaan olahraga (Weilberg & Gould,
(1995). Motivasi berasal dari bahasa latin yaitu “Movere” yang artinya
bergerak. Sejumlah pakar (Anshel, 1997; Duda, 1993; Weinberg & Gould, 1995)
mengemukakan adanya beberapa sumber motivasi yaitu : 1. Orientasi pelaku (trait
centered/ participant centered orientation, 2. Orientasi Situasional/
Lingkungan (situation centered orientation), 3. Orientasi interaksional
(interactional orientation).
Motivasi penting diberikan sebelum
kompetisi (nasehat pro kompetisi). Tugas dari seorang pelatih untuk berusaha
keras memberikan nasehat pada atlet menjelang pertandingan dalam rangka
mempersiapkan atlet secara lebih baik. Pelatih juga dapat memberikan motivasi
dan meningkatkan percaya diri dengan cara menunjukkan bahwa dirinya jauh lebih
tangguh dari pada lawan. Namun, pelatih tidak disarankan memberikan motivasi
dengan cara menekankan kepada atlet bahwa dia harus dan mutlak untuk menang.
Hoehn (1983) serta Fuoss dan Troppmann
(1981) mengemukakan berbagai hal yang perlu dimiliki seorang pelatih dalam
membina hubungan dengan atletnya adalah : 1. Mampu berkomunikasi secara
efektif, 2. Memiliki kemahiran mengajar dan melatih, 3. Mampu membangkitkan
gairah semangat atlet dan memberikan pujian kepada atlet, 4. Lebih menekankan
keunggulan individu daripada kelemahan yang dimilikinya, 5. Terorganisir dan
berperilaku terkendali.
Selain itu, berbagai tehnik juga
dapat dipakai untuk memotivasi atlet mencapai prestasi maksimalnya (Anshel,
1997) yaitu : 1. Saling mengenal di antara sesama anggota tim, 2. Terencana, 3.
Berorientasi ke masa depan, 4. Mengembangkan keterampilan, 5. Memberikan
penghargaan, 6. Menanamkan disiplin secara tegas bukan keras, 7. Mencari
kesamaan pandangan.
BAB V
KECEMASAN, GUGAHAN & STRES
Di dalam dunia olahraga, kecemasan
(anxiety), gugahan (arousal) dan stres (stress) merupakan aspek yang memiliki
kaitan yang sangat erat satu sama lain sehingga sulit untuk dipisahkan.
Spielberg (1972) membedakan kecemasan bawaan (trait anxiety) dari kecemasan
sesaat (state anxiety). Kecemasan bawaan adalah faktor kepribadian yang
mempengaruhi seseorang untuk mempersepsi suatu keadaan sebagai situasi yang
mengancam. Sedangkan kecemasan sesaat berfluktuasi, berubah-ubah dari suatu
waktu ke waktu yang lainnya.
Gugahan seringkali disetarakan dengan
dorongan, aktivasi, kesiapan, atau eksitasi. Gugahan mutlak dibutuhkan oleh
atlet dalam menampilkan kinerja olahraganya. Gugahan dan kecemasan memiliki
hubungan yang erat karena kecemasan menimbulkan gugahan fisik maupun
psikologis. Sejumlah pakar menjelaskan kondisi tersebut kedalam sejumlah teori
yaitu : 1. Teori dorongan (drive theory), 2. Teori U-terbalik (inverted
U-Hypothesis), 3. Teori zona fungsi optimal (zones of optimal finction), 4.
Teori kecemasan multi dimensional (multidimensional anxiety theory), 5. Teori
bencana (catastrophe theory), 6. Teori pembalikan (reversal theory).
Stres merupakan kondisi yang umum
dihadapi seseorang dalam menghadapi berbagai tantangan hidup. Beberapa gejala
stres yaitu : 1. Tanda-tanda emosional (sikap apati, kecemasan, iritabilitas,
kelelahan mental dan overkompensasi dan menyangkal), 2. Tanda-tanda perilaku (
menghindar, ekstrimitas, administatif dan melanggar hukum), 3. Tanda-tanda
fisik (phobia, sering sakit, mudah lelah fisik, melakukan pengobatan sendiri
dan menderita berbagai penyakit.
Adapun strategi menghadapi stres
antara lain rekreasi, melakukan variasi latihan, kesempatan komunikasi,
relaksasi, program konseling dan medikasi.
BAB VI
KEPEMIMPINAN
Weinber gan Gould (1995) mengutip
Barrow (1977) mengemukakan bahwa kepemimpinan merupakan proses perilaku
mempengaruhi sejumlah atau sekelompok orang untuk mencapai suatu sasaran
tertentu. Umumnya seorang pimpina dalam olahraga terpilih atas dasar penunjukan
atau penugasan dari pembina. Dapat disimpulkan bahwa di dalam konteks olahraga,
seorang pemimpin dipilih berdasarkan: 1. Senioritas dalam usia, 2. Senioritas
dalam pengalaman, 3. Keunggulan dan keterampilan tertentu.
Ada beberapa macam pendekatan yang
memberi pandangan mengenai jenis seorang pemimpin: 1. Pendekatan trait, 2. Pendekatan
behavioral, 3. Pendekatan interaksional, 4. Pendekatan multidimensional.
Ada 4 komponen pemimpin yang efektif:
1. Kualitas pemimpin efektif, 2. Gaya kepemimpinan, 3. Faktor situasional, 4.
Karakteristik anggota.
Dalam olahraga, pemimpin tim atau regu
harus mampu mengkomunikasikan langkah-langkah untuk mencapai sasaran yang
hendak dicapai. Ia juga harus mampu memberikan instruksi serta tepat untuk
dapat diterima dan diikuti oleh para atlet. Komunikasi merupakan salah satu
kunci utama efektivitas kepemimpinan.
Pelatih di dalam pembinaan olahraga
tidak hanya berfungsi sebagai orang yang memberikan latihan fisik serta
keterampilan pada atlet, tetapi juga mendidik atletnya untuk mampu meraih
prestasi secara optimal sesuai dengan potensi yang dimilikinya. Daly dan Parkin
(1991) mengemukakan sejumlah hal mendasar yang perlu dimiliki oleh seorang
pelatih dalam memimpin atletnya menapaki tangga prestasi: 1. Intelegensi, 2.
Orientasi pada prestasi, 3. Berketetapan, 4. Kesabaran, 5. Antusias, 6.
Pengetahuna, 7. Teliti, 8. Percaya diri, 9. Stabil, 10. Mampu mengambil
keputusan, 11. Memiliki integritas tinggi, 12. Mampu mengorganisir, 13. Mampu
menyusun persiapan, 14. Memiliki rasa humor, 15. Panutan
BAB VII
KOMUNIKASI
Komunikasi adalah aspek penting yang
menjembatani hubungan antar manusia. Tanpa adanya komunikasi yang baik,
hubungan manusia akan terhambat. Jadi, tanpa adanya komunikasi yang baik,
hubungan pelatih dan atlet tidak akan
terselenggara dengan baik.
Anshel (1997) mengemukakan ada
10 aspek yang perlu dipertimbangkan
dalam membina komunikasi, terutama berkenaan dengan upaya pelatih menyampaikan
gagasan program latihan kepada atletnya: 1. Jujur, 2. Terbuka, 3. Konsisten, 4.
Empatik, 5. Tidak sarkastik, 6. Puji dan kritik pelaku bukan pribadi, 7. Hargai
integritas orang lain, 8. Gunakan isyarat positif, 9. Berikan latihan
keterampilan, 10. Berinteraksi secara konsisten
Daily dan Parkin (1991) juga telah
mengemukakan hahl-hal yang lebih kurang sama dengan ashel (1997) mengenai
hal-hal yang perlu dipertimbangkan pelatih dalam berkomunikasi dengan atletnya:
1. Proses dua arah, 2. Sederhana, 3. Jelas, 3. Umpan balik, 4. Jelas, 5.
Positif, 6. Dorongan semangat, 7. Empati, 8. Kritik, 9. Komentar, 10.
Konsisten, 11. Kredibilitas, 12. Sensitif, 13. Menghindari sarkasme, 14. Rasa
humor.
Sekalipun pengertian umum komunikasi
banyak diinterpretasikan sebagai tehnik menyampaikan pesan agar dapat diterima
dan dimengerti oleh penerima pesan, tetapi justru salah satu kunci utama
komunikasi adalah mendengarkan secara aktif (active listening) (yukelson,
1993).
Egan (1982) serta ivey (1983)
menjelaskan ada tujuh hal penting dalam meningkatkan hubungan komunikasi antara
pelatih dengan atlet: 1. Bertanya (questioning), 2. Minta penjelasan
(clarifying), 3. Memberi dorong semangat (encoraging), 4. Menyusun kalimat
ulang (paraphasing), 5. Merefleksikan (reflecting), 6 memahami (undestanding),
7. Menyimpulkan (summarizing).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan memberikan komentar serta kritik dan saran yang membangun. Terima Kasih.